Thursday, August 29, 2019

Homesick

"Al, aku hari Jumat pulang, ya."

Beberapa hari terakhir, aku selalu berusaha beradaptasi dengan lingkungan serta sistem pendidikan yang baru. Saking seriusnya, aku sempat lupa bahwa ibuku sedang sakit yang aku tak tahu apakah beliau sudah kembali pulih atau belum. Sempat lupa bahwa ayahku masih membanting tulang tiap hari sampai larut malam berkeliling Jakarta dan sekitarnya demi bisa membiayai uang kuliah, kos, uang bulanan milikku serta keperluan keperluan keluargaku yang tak kalah penting. Sempat lupa bahwa abang-abangku masih tetap bergelut dalam pekerjaannya masing-masing sampai mungkin mereka lupa menanyakan kabarku. Sempat lupa bahwa adikku masih berusaha hidup tenang dengan mengunjungi sekolahnya yang terhitung jauh tiap lima hari dalam seminggu.

Sempat lupa sampai aku sadar jika aku ingin pulang, tiga hari sebelum minggu berganti adalah kesempatan paling berharga yang belum tentu akan kudapatkan lagi dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan. Terlalu asyik dengan aktivitasku, sampai lupa bahwa aku masih punya rumah yang harus kukunjungi meski berjarak 174 kilometer dari "rumah" di sini. Terlalu asyik dengan kawan-kawan baru, sampai lupa bahwa aku masih punya keluarga yang menantikan kepulanganku kapanpun itu. Terlalu asyik mempelajari hal-hal baru, sampai lupa bahwa aku bisa mengisi energiku kembali apabila aku pulang ke rumah yang seharusnya.

Namun sayang beribu sayang, aku belum bisa membawa diriku pulang ke pelukan ibu, ayah, kedua abangku, dan adikku. Hanya dengan perkara rok dan kemeja, aku harus menundanya hingga waktu yang belum dapat kutentukan. Sedih? Sangat. Bahkan dalam perjalananku dari Bandung menuju ke Jatinangor, aku sempat menangis karena aku belum bisa pulang minggu ini. Melihat kawan-kawanku menyempatkan dirinya untuk menjenguk orang tuanya selalu mengiris hatiku. Anak macam apa aku? Adik serta kakak macam apa aku?

Jika aku pulang, apa yang akan kulakukan? Kurasa, menangis dalam pelukan ibu lalu bercerita segala macam hal semalaman akan sedikit mengobati rasa rinduku pada rumah. Ya, sedikit. Rinduku akan seratus persen terobati apabila aku tak perlu kembali ke sini. Dan rindu ini terus menggerogoti hari-hariku. Sakit. Pusing. Lelah.

Karena kali ini, pulang bukanlah keinginanku, melainkan kebutuhanku. Aku tak ingin pulang, aku butuh pulang.

Maafkan aku, ma, pa, bang, dek. Sialnya, aku belum bisa pulang minggu ini.


22.37
Di dalam suatu gedung kos di gang Sukawening, dengan air mata membasahi bantal.

Monday, August 26, 2019

tahu dan bingung serta mungkin

"kalau dia memang suka, maka kau akan tahu nanti. namun kalau tidak, maka kau akan bingung."

apakah harus kujelaskan seberapa tepatnya pernyataan di atas dalam kehidupanku?  baiklah, akan kusebutkan beberapa contohnya.

kau akan tahu nanti, katanya. memang benar, lelaki itu menyukaiku. ia tak perlu menyebut tiga kata ajaib, aku pun sudah tahu. apakah aku terkejut? tidak. aku nyaman. meski yang seperti kuketahui, jangan pernah nyaman karena nanti akan berakhir tahi.

kau akan bingung, katanya. tak meleset sedikitpun, lelaki yang lain juga mampu membuatku bingung. gelagatnya yang tiba-tiba tak gagal buatku terheran-heran.  hebatnya, firasatku mampu menjauhkanku dari hal yang tak kumau.

namun di sini, aku harus apa? mungkin aku menyukaimu namun aku pun bingung. haruskah aku ikuti firasat atau rasaku yang masih diambang kata mungkin?

Wednesday, August 7, 2019

Si Antagonis

Sebaik apapun engkau pada orang lain, akan ada orang-orang yang memberimu label antagonis di hidupnya. Apakah para antagonis tahu salahnya? Ada dua kemungkinan; benar-benar tak tahu atau memang tahu namun pura-pura tidak peduli.

Dalam hidupku sendiri, ada beberapa manusia yang kuberi label antagonis. Sebagian dari mereka benar-benar tak tahu (atau tak mau tahu) kesalahannya, sisanya memang tahu namun tak peduli. Harus kutegaskan bahwa engkau adalah salah satunya. Meski begitu, aku tak tahu antagonis tipe apa dirimu itu.

Aku katakan kesalahanmu namun kau mengelaknya lalu kau bilang aku berlebihan. Meski begitu kau tetap kembali dan menanyakan hal yang sama. Melelahkan dan membuang-buang waktu, kau tahu?

Lagipula, antagonis yang mana yang mau mengakui kesalahannya? Mereka hanya ada dalam dongeng-dongeng saja. Mengapa begitu? Karena para antagonis menganggap dirinya memang benar dan justru lawannya yang salah.

Aku tak peduli apa label yang kau berikan untukku. Namun apabila antagonis adalah jawabannya, itu terserah engkau. Aku hanya melakukan apa yang terbaik untuk diriku, dan menurutku melakukan hal yang demikian padamu adalah satu-satunya jalan keluar.

Dan demi melanjutkan hidup, aku berani menyingkirkan antagonis-antagonis itu, meski hanya sekadar tak menganggapnya ada. Jadi, jangan menatapku terheran-heran mengapa aku melakukan ini.