Friday, September 28, 2018

the truth untold

Dari : untitled
Untuk : 24/7

21:03.

Di sinilah aku, menutup kedua indera pendengaran menggunakan headphone hitam yang mengalirkan musik dengan lirik berbahasa Jepang bercampur bahasa Inggris, sambil menuliskan hal tentangmu. Lagi dan lagi. Seolah-olah tak ada bosannya untuk mendedikasikan rangkaian kata ini untukmu, setelah ratusan bahkan ribuan kertas beserta memar di jari manis sebelah kanan saking asyiknya menulis untukmu. Otakku terus bertanya-tanya, haruskah aku melakukan ini lagi?

Karena, adik, ada beberapa hal yang harus aku jujurkan padamu, namun tingkahmu seperti tak ada hal-hal yang patut dibahas lagi. Jadi, izinkan kata-kata di sini mengatakannya padamu, serta melambaikan bendera putih dariku.

Ya, aku mundur dari segala usahaku. Mulai dari mengajakmu untuk berbicara serius nan gamblang, hingga mengembalikanmu pada kehidupan sehari-hariku. Mengapa? Pertama, kaubilang bahwa kau tak pernah buat suatu keadaan, tapi kau sebenarnya mengikuti keadaan yang ada. Sementara kau mengikuti keadaan, aku tak bisa memperbaiki keadaan sendirian, lagi. Aku lelah, tak tahu lagi harus berbuat apa pada hubungan yang sejatinya hanya gadis yang setahun enam bulan lebih tua darimu yang berjuang. Sementara kau hanya mengeluh dan mengeluh tanpa mau berbuat sesuatu yang bisa mengubah semua ini, baik saat sebelum malam itu maupun sekarang.

Untuk mempermudahmu untuk mengerti, anggap saja kita saat itu sedang berada di satu perahu yang tak terlalu kecil di suatu sungai. Lalu, kita memilih menggunakan dua perahu yang lebih kecil untuk sendiri-sendiri. Aku mengajakmu untuk saling mendayung secara berdampingan, namun katamu itu tak mungkin. Karena kau memilih untuk mengikuti arus dan luas sungai yang kauanggap hanya muat satu perahu saja. Mau bagaimanapun juga, aku tak bisa tiba-tiba berhenti dan menggali sisi-sisi sungai demi bisa berdampingan denganmu. Karena menggalinya sendirian itu butuh waktu yang tidak singkat. Dan kau mau aku menggalinya sendirian? Maaf, aku bukan budakmu, dik.

Kedua, aku sadar bahwa takkan selamanya kau ada di kehidupanku. Karena pada faktanya, kau dan aku saling bersandar namun menghadap mata angin yang berbeda. Karena secara kebenaran, kau dan aku memang sepasang sepatu namun dari berbeda merk. Kita pernah sama, namun dasarnya kita sangat berbeda. Ya, seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Bodoh.

Ketiga, meski kau secara tersirat selalu berkata bahwa aku adalah bahagiamu, nyatanya memang bukan. Kausembunyikan semua rasa sakitmu dariku dan menutupinya dengan topeng. Tak salah, aku juga begitu, namun aku buka topengku hanya padamu. Sesakit apapun aku, baik itu bukan maupun darimu. Dan aku lebih memilih menaruh bahagiamu di atas milikku.

Untuk menegaskan, aku tidak menaruh dendam padamu. Atau kau mungkin saja berpikir bahwa aku menyesal pernah bersamamu. Tidak, bukan seperti itu. Kau adalah pelajaran terbaik yang pernah kutekuni selain sastra. Maka dari itu aku harus belajar untuk mulai menaruh diriku terlebih dahulu di atas yang lain. Aku harus belajar untuk mengatur hidupku yang bagai kapal pecah ini. Aku harus belajar, karena aku tak mau lelaki setelahmu (atau mungkin dirimu, tak ada yang tahu) merasakan hal yang sama denganmu waktu itu.

Baiklah, dengan bangga dan atau dengan pedihnya, akan kukatakan salah satu lirik dari lagu yang kudengarkan sekarang. Aku yakin kautahu, karena lima kata ini pernah terucap dari bibirku sebulan sebelum 'kita' diresmikan, namun kau berhasil membuatku menarik kata-kata itu.

I'm ready to let go.


21:37.

No comments:

Post a Comment