Selamat malam, Ibu. Biasanya, Ibu lah yang menanyakan pertanyaan ini. Namun kali ini, aku ingin sekali menanyakan perihal ini.
"Tehnya sudah dibuat?"
Hehe. Saat aku masih di sana, tiap kali Ibu menelepon pasti jawabannya, "Belum dituang ke gelas-gelas, Bu." Ku tau Ibu takkan mengatakan itu, karena Ibu tak mungkin menunda-nunda bahkan mengoper pekerjaan. Bahkan sebelum matahari beristirahat, enam gelas keramik yang berbeda-beda sudah berbaris rapi di meja makan berisikan teh yang masih mengepul.
Biasanya, teh yang kubuat kurang manis. Bukan kurang gula, hanya saja aku terlambat menuangkannya sehingga air teh itu sudah tak panas lagi dan tak mampu melarutkan dua sendok makan gula di dalamnya. Kalau Ibu yang buat, sudah tak dapat diragukan lagi nikmatnya. Meski kadang terlalu manis atau lebih ke tawar.
Di sini, aku tak membuat teh sebanyak itu, Bu. Tidak ada gelas-gelas keramik milik Adik yang ia dapat dari kenang-kenangan SMP nya, milik para Abang yang satunya mirip gelas untuk tamu dan yang lain bergambar minion yang ia dapat saat ulang tahunnya, milik Ayah yang terlihat paling gagah dengan warna merahnya, dan milik Ibu yang tak pernah berganti. Aku hanya buat untuk diriku sendiri dengan sebuah gelas keramik yang kudapat gratis karena berani menjawab pertanyaan dari pembawa acara.
Di sini, aku tak mungkin membuat teh yang gagal manis lagi, Bu. Hal ini karena aku langsung menuangkan air panas ke dalam gelasku yang sudah kusiapkan dengan gula satu setengah sendok makan dan sebuah teh celup. Kan, kalau di sana, aku harus menuangkan air panasnya ke dalam sebuah teko khusus yang di dalamnya terdapat daun-daun teh dan sebuah teh celup lalu menunggu teh tersebut larut. Sudah pasti rasanya beda, Bu.
Di sini, aku tak perlu mengantar tehku ke meja makan dengan hati-hati, Bu. Aku hanya perlu bersila di lantai dan langsung meminumnya. Saat di sana, aku harus mengantar keenam gelas teh tersebut ke meja makan. Tak jarang aku menumpahkannya meski setetes dua tetes, ditambah lagi teh tersebut terkadang masih panas. Aku pun harus sedikit berjalan cepat agar tanganku tak kepanasan.
Ibu mau tahu apa yang paling penting? Di sini, membuat teh setelah matahari tenggelam bukanlah suatu keharusan. Kadang aku mau, kadang juga tidak. Jika saat di rumah aku tak beranjak membuat teh, semua penghuni rumah akan mulai meneriakkan namaku secara bergantian. Termasuk Ibu. Hehe.
Meski bukan suatu keharusan, kebiasaan yang turut Ibu tanam dalam diriku tak hilang begitu saja. Saat ku tak tahu harus apa setelah matahari tenggelam, agenda wajib itu pasti terlintas dalam otakku. Seolah-olah itu tetap harus kulakukan di sini. Harus apa tidak, sih, Bu?
Harus atau tidaknya bukanlah hal yang ingin kukatakan pada Ibu sekarang. Yang ingin kukatakan adalah meski sering terlambat sampai lupa, aku rindu membuat teh untuk seluruh anggota keluarga di rumah tiap matahari tenggelam.
No comments:
Post a Comment