Tidak memilih juga memilih, katanya.
Aku mendapat kutipan manis itu dari buku karya Leila S. Chudori berjudul Pulang. Epilog dari buku tersebut merupakan saat-saat dimana Dimas Suryo akhirnya pulang ke tanah yang paling ia kenal, Karet. Sebelum berpulang, ia menuliskan sepucuk surat untuk anak gadisnya, Lintang Utara. Dalam surat itu, Dimas mengatakan bahwa apabila Lintang memutuskan untuk tidak memilih antara Nara maupun Alam, maka itu juga masih termasuk memilih. Memilih untuk sendiri dalam sunyi.
Di sinilah aku, meratapi pilihan-pilihan dalam hidup. Semua berbaris dengan rapi di hadapanku, mulai dari yang pernah kulalui sampai yang sedang kuhadapi. Ingin rasanya aku tak memilih sama sekali. Kelemahanku ada pada segala risiko dalam hidup. Aku hanya ingin senang, ingin bahagia, tanpa deru tangis atau hanya sekadar keringat.
Namun apabila aku masih menganut pola pikir yang demikian, aku akan terus terpontang-panting dalam derasnya kehidupan. Sama seperti Dimas, terbang kesana kemari tanpa tujuan. Disaat ia mampu memilih, semuanya sudah terlambat. Ia sudah tak mampu kembali ke Indonesia. Sesaat setelah nasib selesai memilihkan pilihan untuknya, waktunya di dunia justru sudah habis. Ya, ia kembali. Namun sudah tak bernyawa. Terbujur kaku dimakan usia dan penyakit.
Tanda tanya yang masih menggerayangiku hanya satu: adakah pilihan yang tak berisiko?
—sw.
thoughts.
Sunday, November 17, 2019
Monday, October 14, 2019
ujian
"Tuhan takkan memberikan ujian yang tak mampu dilalui oleh hamba-Nya," katanya begitu. Aku selalu berpegang teguh dengan kata-kata barusan, sampai ada satu kejadian yang menurutku tak bisa direlasikan. Kurasa menceritakan apa yang kualami—atau sebenarnya yang kudengar—ini takkan mengubah apapun. Jadi, aku hanya duduk dan menggerutu mengenai betapa tidak adilnya dunia ini.
Sekadar peringatan; kisah yang kutuang di sini bukanlah ceritaku seluruhnya.
Aku mendapat terlalu banyak kutipan dari banyak orang yang berlalu lalang di hidupku. Yang mampu kuringkas hanyalah, "Jangan akhiri hidupmu. Karena sederas apapun hujannya, sekeras apapun petirnya, nanti akan ada pelangi yang akan mengubah seluruh hidupmu. Kapan pelangi itu datang? Ya, sabar saja." Pertanyaan terbesar saat ini adalah, bagaimana jika pelangi itu takkan pernah datang, dan yang datang hanyalah malaikat pencabut nyawa yang siap mengantar nyawa menuju tempat yang seharusnya?
Aku—sempat—percaya bahwa takkan ada satu manusia yang sia-sia di dunia ini. Coba kau tanyakan aku sekarang, aku berguna untuk siapa?
Orang tuaku? Mereka tak menganggapku ada. Mungkin ada, namun sebatas bayang-bayang tak jelas.
Temanku? Mereka hanya melihat sisi bahagiaku saja. Saat mendengar sisi terpurukku, mereka hanya menatapku dan tak melakukan apa-apa.
Diriku sendiri? Aku hanyalah benalu di dunia ini. Sebatas itu.
Kali ini, aku ada di ambang hidup dan mati. Jika mereka sadar, mungkin mereka akan menahanku agar tetap bernapas. Namun, ah, persetan! Sepertinya Tuhan menyesal telah menciptakan manusia tak berguna nan merugikan seperti aku ini.
Karena katanya hidup ini hanya untuk dirimu sendiri, lebih baik aku pergi saja, kan?
Sekadar peringatan; kisah yang kutuang di sini bukanlah ceritaku seluruhnya.
Aku mendapat terlalu banyak kutipan dari banyak orang yang berlalu lalang di hidupku. Yang mampu kuringkas hanyalah, "Jangan akhiri hidupmu. Karena sederas apapun hujannya, sekeras apapun petirnya, nanti akan ada pelangi yang akan mengubah seluruh hidupmu. Kapan pelangi itu datang? Ya, sabar saja." Pertanyaan terbesar saat ini adalah, bagaimana jika pelangi itu takkan pernah datang, dan yang datang hanyalah malaikat pencabut nyawa yang siap mengantar nyawa menuju tempat yang seharusnya?
Aku—sempat—percaya bahwa takkan ada satu manusia yang sia-sia di dunia ini. Coba kau tanyakan aku sekarang, aku berguna untuk siapa?
Orang tuaku? Mereka tak menganggapku ada. Mungkin ada, namun sebatas bayang-bayang tak jelas.
Temanku? Mereka hanya melihat sisi bahagiaku saja. Saat mendengar sisi terpurukku, mereka hanya menatapku dan tak melakukan apa-apa.
Diriku sendiri? Aku hanyalah benalu di dunia ini. Sebatas itu.
Kali ini, aku ada di ambang hidup dan mati. Jika mereka sadar, mungkin mereka akan menahanku agar tetap bernapas. Namun, ah, persetan! Sepertinya Tuhan menyesal telah menciptakan manusia tak berguna nan merugikan seperti aku ini.
Karena katanya hidup ini hanya untuk dirimu sendiri, lebih baik aku pergi saja, kan?
Wednesday, September 25, 2019
perlahan
jika aku harus jujur, rasanya seperti mengiris hati dengan perlahan.
aku terlalu memaksakan diri. sebenarnya aku belum mampu merampungkan segala masalah yang makin hari makin menumpuk gila-gilaan. namun lihatlah! aku kembali menantang diriku yang kecil nan lemah ini.
seperti mendorong diri menuju ujung tebing dengan perlahan.
masalah-masalah ini seolah-olah mengajak alam bawah sadarku untuk terjun bebas tanpa pengaman apapun juga penyelamat di bawah sana. siapa, sih, yang akan peduli denganku? haha, tak ada!
seperti membisikkan kata-kata tak pantas pada refleksiku dengan perlahan.
bodoh! lemah! tak becus! sok pahlawan!
seperti menenggelamkan diri dalam bak penuh kebodohan diri sendiri dengan perlahan. seperti memacung diri sendiri dengan perlahan. seperti menekan pedang-pedang yang sudah menusuk tubuh dengan perlahan.
ya, seperti membunuh diri dengan perlahan. intinya seperti itu.
namun siapa sangka? hampir sembilan belas tahun aku bernapas dan banyak masalah yang mampu kuselesaikan. masih ada jiwa hebat dalam diriku ini! persetan masalah-masalah itu, kata-kata tak pantas itu, pedang-pedang itu, kebodohan-kebodohan itu!
aku masih akan tetap bernapas di udara penuh kekejian ini.
aku masih akan tetap berjalan di dunia penuh ketidakjelasan ini.
aku masih akan tetap berbicara pada manusia-manusia penuh kekurangajaran itu.
aku masih akan tetap menjadi diriku sendiri disaat mereka menuntut ini-itu.
maaf, darah bagi orang-orang yang menyerah tak mengalir dalam diriku.
aku terlalu memaksakan diri. sebenarnya aku belum mampu merampungkan segala masalah yang makin hari makin menumpuk gila-gilaan. namun lihatlah! aku kembali menantang diriku yang kecil nan lemah ini.
seperti mendorong diri menuju ujung tebing dengan perlahan.
masalah-masalah ini seolah-olah mengajak alam bawah sadarku untuk terjun bebas tanpa pengaman apapun juga penyelamat di bawah sana. siapa, sih, yang akan peduli denganku? haha, tak ada!
seperti membisikkan kata-kata tak pantas pada refleksiku dengan perlahan.
bodoh! lemah! tak becus! sok pahlawan!
seperti menenggelamkan diri dalam bak penuh kebodohan diri sendiri dengan perlahan. seperti memacung diri sendiri dengan perlahan. seperti menekan pedang-pedang yang sudah menusuk tubuh dengan perlahan.
ya, seperti membunuh diri dengan perlahan. intinya seperti itu.
namun siapa sangka? hampir sembilan belas tahun aku bernapas dan banyak masalah yang mampu kuselesaikan. masih ada jiwa hebat dalam diriku ini! persetan masalah-masalah itu, kata-kata tak pantas itu, pedang-pedang itu, kebodohan-kebodohan itu!
aku masih akan tetap bernapas di udara penuh kekejian ini.
aku masih akan tetap berjalan di dunia penuh ketidakjelasan ini.
aku masih akan tetap berbicara pada manusia-manusia penuh kekurangajaran itu.
aku masih akan tetap menjadi diriku sendiri disaat mereka menuntut ini-itu.
maaf, darah bagi orang-orang yang menyerah tak mengalir dalam diriku.
Tuesday, September 17, 2019
pintu keluar
tuan, pintu keluarnya tepat di belakang anda.
jika anda hanya merasa cukup berkompeten untuk ada di sini namun itu omong kosong, pintu tersebut masih terbuka dengan lebarnya. tempat ini saya khususkan bagi dia—atau mereka—yang memang serius serta tidak menganggap perasaan orang lain adalah bahan lelucon yang bisa ditertawai tiap saat.
jadi, daripada saya menguras tenaga untuk menghadapi manusia seperti anda, saya persilakan anda untuk meninggalkan tempat ini.
anda masih ingin bertanya mengapa? maaf, tempat ini hanya membutuhkan orang-orang yang bersedia untuk membantu merenovasi. tempat ini sudah terbelengkalai selama satu tahun lamanya. hancur dan nyaris tak berbentuk. runtuh yang sangat mendekati kata sempurna.
saya tidak berusaha untuk menjadi sosok yang "sulit didapat". hanya saja saya butuh seseorang—atau beberapa—yang memang mampu menyetarakan keseriusan saya serta mendukung lelucon saya yang kadang tak mampu ditertawakan.
jadi, sekali lagi. pintu keluarnya tepat di belakang tuan. silakan.
jika anda hanya merasa cukup berkompeten untuk ada di sini namun itu omong kosong, pintu tersebut masih terbuka dengan lebarnya. tempat ini saya khususkan bagi dia—atau mereka—yang memang serius serta tidak menganggap perasaan orang lain adalah bahan lelucon yang bisa ditertawai tiap saat.
jadi, daripada saya menguras tenaga untuk menghadapi manusia seperti anda, saya persilakan anda untuk meninggalkan tempat ini.
anda masih ingin bertanya mengapa? maaf, tempat ini hanya membutuhkan orang-orang yang bersedia untuk membantu merenovasi. tempat ini sudah terbelengkalai selama satu tahun lamanya. hancur dan nyaris tak berbentuk. runtuh yang sangat mendekati kata sempurna.
saya tidak berusaha untuk menjadi sosok yang "sulit didapat". hanya saja saya butuh seseorang—atau beberapa—yang memang mampu menyetarakan keseriusan saya serta mendukung lelucon saya yang kadang tak mampu ditertawakan.
jadi, sekali lagi. pintu keluarnya tepat di belakang tuan. silakan.
Monday, September 16, 2019
stigmaku
"cinta?
ah, itu, mah,
menyenangkan!
mimpi indah!"
sebelum berubah.
"cinta-cintaan?
apa-apaan?
memuakkan!
beban!"
sekarang.
Saturday, September 7, 2019
usai setahun
sudah setahun hati menutup pintu.
setahun tanpa cahaya satupun.
setahun diselimuti dingin tanpa penghangat.
setahun ditemani seorang diri sendiri.
hingga suatu hari, aku memutuskan untuk membuka pintu. dan kurasa ini adalah langkah yang salah. amat, sangat, salah. ini berat, terlalu berat untuk kupikul.
setelah pintu itu terbuka, aku baru sadar bahwa di luar sana terlalu terang untukku. saking terangnya, aku tak mampu membedakan yang mana cahaya dari matahari, dari lampu jalan, dari senter, atau apapun itu.
setelah pintu itu terbuka, aku baru sadar bahwa di luar sana terlalu hangat untukku. saking terangnya, aku tak mampu membedakan apakah ini memang cuacanya, kebaikan dari sang mentari, api unggun di samping, atau apapun itu.
setelah pintu itu terbuka, aku baru sadar bahwa di luar sana terlalu ramai untukku. saking ramainya, aku tak mampu membedakan apakah mereka menungguku membuka pintu, hanya berkumpul belaka, hanya kerumunan biasa, atau apapun itu.
lalu terlintas dua opsi dalam otakku; tutup kembali atau terus mencari. opsi tersulit dalam hidupku. jika kembali kututup, aku akan selamanya hidup dalam kegelapan, kedinginan, dan sendirian. namun jika aku terus bertahan, aku percaya akan ada satu di antara mereka yang turut mengacak-acak hatiku yang belum selesai direnovasi.
tolong aku. haruskah aku membanting lalu terbanding atau kembali lalu sepi?
Sunday, September 1, 2019
seusai tenggelamnya matahari
Selamat malam, Ibu. Biasanya, Ibu lah yang menanyakan pertanyaan ini. Namun kali ini, aku ingin sekali menanyakan perihal ini.
"Tehnya sudah dibuat?"
Hehe. Saat aku masih di sana, tiap kali Ibu menelepon pasti jawabannya, "Belum dituang ke gelas-gelas, Bu." Ku tau Ibu takkan mengatakan itu, karena Ibu tak mungkin menunda-nunda bahkan mengoper pekerjaan. Bahkan sebelum matahari beristirahat, enam gelas keramik yang berbeda-beda sudah berbaris rapi di meja makan berisikan teh yang masih mengepul.
Biasanya, teh yang kubuat kurang manis. Bukan kurang gula, hanya saja aku terlambat menuangkannya sehingga air teh itu sudah tak panas lagi dan tak mampu melarutkan dua sendok makan gula di dalamnya. Kalau Ibu yang buat, sudah tak dapat diragukan lagi nikmatnya. Meski kadang terlalu manis atau lebih ke tawar.
Di sini, aku tak membuat teh sebanyak itu, Bu. Tidak ada gelas-gelas keramik milik Adik yang ia dapat dari kenang-kenangan SMP nya, milik para Abang yang satunya mirip gelas untuk tamu dan yang lain bergambar minion yang ia dapat saat ulang tahunnya, milik Ayah yang terlihat paling gagah dengan warna merahnya, dan milik Ibu yang tak pernah berganti. Aku hanya buat untuk diriku sendiri dengan sebuah gelas keramik yang kudapat gratis karena berani menjawab pertanyaan dari pembawa acara.
Di sini, aku tak mungkin membuat teh yang gagal manis lagi, Bu. Hal ini karena aku langsung menuangkan air panas ke dalam gelasku yang sudah kusiapkan dengan gula satu setengah sendok makan dan sebuah teh celup. Kan, kalau di sana, aku harus menuangkan air panasnya ke dalam sebuah teko khusus yang di dalamnya terdapat daun-daun teh dan sebuah teh celup lalu menunggu teh tersebut larut. Sudah pasti rasanya beda, Bu.
Di sini, aku tak perlu mengantar tehku ke meja makan dengan hati-hati, Bu. Aku hanya perlu bersila di lantai dan langsung meminumnya. Saat di sana, aku harus mengantar keenam gelas teh tersebut ke meja makan. Tak jarang aku menumpahkannya meski setetes dua tetes, ditambah lagi teh tersebut terkadang masih panas. Aku pun harus sedikit berjalan cepat agar tanganku tak kepanasan.
Ibu mau tahu apa yang paling penting? Di sini, membuat teh setelah matahari tenggelam bukanlah suatu keharusan. Kadang aku mau, kadang juga tidak. Jika saat di rumah aku tak beranjak membuat teh, semua penghuni rumah akan mulai meneriakkan namaku secara bergantian. Termasuk Ibu. Hehe.
Meski bukan suatu keharusan, kebiasaan yang turut Ibu tanam dalam diriku tak hilang begitu saja. Saat ku tak tahu harus apa setelah matahari tenggelam, agenda wajib itu pasti terlintas dalam otakku. Seolah-olah itu tetap harus kulakukan di sini. Harus apa tidak, sih, Bu?
Harus atau tidaknya bukanlah hal yang ingin kukatakan pada Ibu sekarang. Yang ingin kukatakan adalah meski sering terlambat sampai lupa, aku rindu membuat teh untuk seluruh anggota keluarga di rumah tiap matahari tenggelam.
"Tehnya sudah dibuat?"
Hehe. Saat aku masih di sana, tiap kali Ibu menelepon pasti jawabannya, "Belum dituang ke gelas-gelas, Bu." Ku tau Ibu takkan mengatakan itu, karena Ibu tak mungkin menunda-nunda bahkan mengoper pekerjaan. Bahkan sebelum matahari beristirahat, enam gelas keramik yang berbeda-beda sudah berbaris rapi di meja makan berisikan teh yang masih mengepul.
Biasanya, teh yang kubuat kurang manis. Bukan kurang gula, hanya saja aku terlambat menuangkannya sehingga air teh itu sudah tak panas lagi dan tak mampu melarutkan dua sendok makan gula di dalamnya. Kalau Ibu yang buat, sudah tak dapat diragukan lagi nikmatnya. Meski kadang terlalu manis atau lebih ke tawar.
Di sini, aku tak membuat teh sebanyak itu, Bu. Tidak ada gelas-gelas keramik milik Adik yang ia dapat dari kenang-kenangan SMP nya, milik para Abang yang satunya mirip gelas untuk tamu dan yang lain bergambar minion yang ia dapat saat ulang tahunnya, milik Ayah yang terlihat paling gagah dengan warna merahnya, dan milik Ibu yang tak pernah berganti. Aku hanya buat untuk diriku sendiri dengan sebuah gelas keramik yang kudapat gratis karena berani menjawab pertanyaan dari pembawa acara.
Di sini, aku tak mungkin membuat teh yang gagal manis lagi, Bu. Hal ini karena aku langsung menuangkan air panas ke dalam gelasku yang sudah kusiapkan dengan gula satu setengah sendok makan dan sebuah teh celup. Kan, kalau di sana, aku harus menuangkan air panasnya ke dalam sebuah teko khusus yang di dalamnya terdapat daun-daun teh dan sebuah teh celup lalu menunggu teh tersebut larut. Sudah pasti rasanya beda, Bu.
Di sini, aku tak perlu mengantar tehku ke meja makan dengan hati-hati, Bu. Aku hanya perlu bersila di lantai dan langsung meminumnya. Saat di sana, aku harus mengantar keenam gelas teh tersebut ke meja makan. Tak jarang aku menumpahkannya meski setetes dua tetes, ditambah lagi teh tersebut terkadang masih panas. Aku pun harus sedikit berjalan cepat agar tanganku tak kepanasan.
Ibu mau tahu apa yang paling penting? Di sini, membuat teh setelah matahari tenggelam bukanlah suatu keharusan. Kadang aku mau, kadang juga tidak. Jika saat di rumah aku tak beranjak membuat teh, semua penghuni rumah akan mulai meneriakkan namaku secara bergantian. Termasuk Ibu. Hehe.
Meski bukan suatu keharusan, kebiasaan yang turut Ibu tanam dalam diriku tak hilang begitu saja. Saat ku tak tahu harus apa setelah matahari tenggelam, agenda wajib itu pasti terlintas dalam otakku. Seolah-olah itu tetap harus kulakukan di sini. Harus apa tidak, sih, Bu?
Harus atau tidaknya bukanlah hal yang ingin kukatakan pada Ibu sekarang. Yang ingin kukatakan adalah meski sering terlambat sampai lupa, aku rindu membuat teh untuk seluruh anggota keluarga di rumah tiap matahari tenggelam.
Subscribe to:
Comments (Atom)