Malam ini, Rindu mengetuk pintu hatiku yang nyaris tertutup lalu menyelonong masuk tanpa dosa. Setelah itu tanpa rasa bersalah ia mengobrak-abrik seisi hatiku dan mencari kotak kenanganku denganmu waktu itu. Kotak itu telah kukunci rapat-rapat, bahkan aku nyaris lupa di mana kutaruh kunci itu. Dan entah pengetahuan dari mana, rindu menemukan persembunyian sang kunci dalam sekali pencarian. Lalu dengan segera rindu membukanya dan menjejerkan segala isi kotak itu di hadapanku. Seusai mengurutkan peristiwa yang ada di dalam kotak itu, ia meninggalkanku dengan isi kotak sialan itu.
Mataku meneliti tiap benda yang dipamerkan di hadapanku. Kebanyakan benda di hadapanku ini berbentuk foto. Dari tiap sorot mata dan lekukan bibir, aku bisa pastikan bahwa itu semua merupakan saat-saat bahagia milikku dan milikmu. Ada juga yang berbentuk kertas yang berisikan kata-kata yang tak pernah kulupa, baik itu yang pernah kutulis maupun kau yang menuliskannya.
Otakku pun dikuasai oleh Rindu. Ia membuka sebuah pintu yang mengarah ke penyimpanan memoriku denganmu saat itu. Lalu semua memori di dalam sana diputarkan bagai film yang tak berujung. Nyamannya bahumu, teduhnya tatapanmu, kuatnya genggamanmu, tenangnya suaramu, manisnya kata-katamu, dan nyatanya rasa sayangmu saat itu. Semua itu diputar tanpa ampun.
Dan aku duduk bersila, lemah nan pasrah dengan kelakuan rindu itu. Entah sejak kapan, air mata mulai berlomba-lomba untuk menyentuh lantai. Diriku tak mampu mempertahankan benteng yang dibangun sejak kau pergi ini. Di malam yang kelam ini, benteng itu runtuh kembali. Atau perlu kukatakan, hancur lebur bagai kapal pecah?
Benteng itu rata dengan tanah sekarang, dan sialnya aku harus bangun itu dari awal lagi. Sendirian.
"Kau tahu," Rindu kembali menghadapku, "Kau harus katakan padanya bahwasanya malam ini aku datang menghampirimu dan mengobrak-abrik ini." Ia katakan itu dengan santainya, seperti kata-katanya itu sama sekali tidak salah.
"Kau mengatakan itu seolah-olah itu merupakan hal mudah, seperti membalikkan telapak tangan," sanggahku dengan suara bergetar. Aku sama sekali tidak menatap Rindu, namun aku bisa merasakan tatapannya yang mengejekku.
"Memang mudah, bukan?" suara angkuhnya memenuhi ruangan, "Kau tinggal pergi menghadapnya dan bilang bahwa aku datang dan mengobrak-abrik ini semua. Lalu kau minta dia agar datang kembali ke sini dan membantumu merapikan semuanga seperti sedia kala." Kali ini, aku beranikan diriku menatap nanar matanya. Mengisyaratkannya untuk menarik perkataannya barusan dari tatapan mataku. Namun sepertinya ia tak berniat dan tetap bersikukuh dengan pernyataannya itu.
"Dia takkan pernah kembali, kuharap kau tahu tentang itu, wahai makhluk sialan." Air mataku kembali jatuh dengan mulusnya, dan suaraku makin bergetar dari sebelumnya. Saking bergetarnya, sekali lagi aku berbicara rasanya aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Kuatur napasku dan gerakan naik-turun bahuku, lalu kulanjutkan perkataanku.
"Keadaan menghancurkan segalanya, ia membangun jarak yang teramat jauh antara aku dan dia. Jika bisa kusimpulkan secara sepihak, mungkin kotak kenanganku dengannya di hatinya sudah dia buang, bahkan dia bakar sampai menjadi abu. Juga otakknya sudah menghapuskan namaku beserta segala hal tentangku. Nyamannya bahuku, teduhnya tatapanku, kuatnya genggamanku, tenangnya suaraku, manisnya kata-kataku, dan nyatanya rasa sayangku saat itu. Semua memori manisku dengannya sudah dia hapuskan, namun memori pahit terus membekas di sana. Bisa kulihat dari tatapan dinginnya saat kedua indra penglihatannya berserobok dengan milikku. Dengan itu semua maka kuminta kau, Rindu, untuk jelaskan padaku bagaimana caranya untuk membawanya kembali dan merapikan ini semua?"
Kuakhiri pidato singkatku itu dengan sesegukan yang hebat dan derasnya air mata yang jatuh ke lantai pun jejaknya di pipi. Kututup bibirku yang bergetar menggunakan telapak tangan kananku, dan tangan kiriku meremas baju bagian dadaku. Bahuku bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Aku tak memperhatikan Rindu yang entahlah apakah ia dengarkan semua kata-kataku itu atau membiarkannya pergi mengikuti arus udara.
"Dan kau pikir aku di sini akan membantumu mencarikan solusi?" tanyanya balik dengan nada amat sangat angkuh yang membuat telingaku panas mendengarnya.
"Seperti inilah tugasku. Datang tanpa diundang dan masuk tanpa diizinkan, lalu mengobrak-abrik kotak kenanganmu dengan orang yang paling berharga untukmu. Sebatas itu. Tak ada hak pula kewajiban untukku membantu mencarikan solusi untukmu. Jadi mengenai masalahmu itu, silahkan cari jalan keluarnya sendiri. Itu bukan urusanku, pun aku tak peduli."
Lalu Rindu menyelonong pergi tanpa rasa iba padaku. Meninggalkan hatiku yang isinya bagai kapal pecah, otakku yang tanpa henti memutarkan memori yang sudah pernah kuniatkan untuk melupakannya, bentengku yang sudah rata dengan tanah, juga diriku yang rasanya inginku memenggal kepalanya itu. Tanpa mengindahkan air mata yang belum berhenti mengalir, aku mengambil salah satu lembar foto yang berserakan di hadapanku dan satu buah pena. Kubalik foto itu sehingga bagian yang kosong menghadapku, lalu kutaruh di lantai dan mulai menggoreskan kata demi kata dibalik foto itu.
Bagaimana rasanya sudah bisa membakar kotak kenangan yang pernah kita simpan bersama? Bagaimana rasanya sudah bisa melupakan memori yang pernah kita rekam bersama? Bagaimana rasanya sudah bisa membangun kembali benteng yang pernah kita runtuhkan dan bangun bersama kembali? Bagaimana rasanya sudah bisa mengubah kata ganti 'kita' menjadi 'aku dan kau'?
Bagaimana rasanya sudah bisa pergi dari hidupku dengan leganya? Puastah?
Kubalik kertas itu sehingga fotonyalah yang kulihat sekarang. Foto itu merupakan foto terakhirku denganmu, kurang lebih empat belas jam sebelum akhirnya kauputuskan untuk mundur. Tak perlu kudeskripsikan foto itu, kau pun tahu foto yang mana yang sekarang kupegang.
Kudekatkan foto itu hingga jaraknya dengan hidungku hanya lima sentimeter. Kutatap mataku dan matamu di sana, mereka memancarkan kebahagiaan, kelegaan. Seolah-olah mengejekku yang kini sedang hancur-hancurnya. Lalu kubisikkan dua kalimat pada foto itu.
"Rindu baru saja datang padaku. Namun atas dasar tahu diri akan kurapikan semua ini sendiri, tanpamu."
—spoken whalien, 9:19 pm.
No comments:
Post a Comment