Sunday, December 30, 2018

my youth

ini perihal masa kecil.

masa dimana terjatuh lalu menangis masih diampuni.
masa dimana tertawa lepas sangatlah dimaklumi.
masa dimana bergantung pada orang tua hukumnya wajib.
masa dimana cinta adalah kata yang asing.

ini perihal masa kecil.

saat itu diri ini merasa bebas.
saat itu takkan ada hal yang mengekang.
saat itu mimpi bertumpuk dan merasa hebat.
saat itu kata orang hanyalah candaan.

ini perihal masa kecil.

tampaknya diri ini menginginkannya kembali datang.
tampaknya dunianya sedang hampir rata dengan tanah.
tampaknya manusia lain tanpa henti mengekangnya.
tampaknya jiwanya hanya ingin menyerah dan melayang.

ini perihal masa kecil.

diri ini hanya mampu diam-diam meringis,
karena tak ada satu jiwa yang berbaik hati.
diri ini hanya mampu duduk dan menangis,
karena ia hanya perlu diri versi ciliknya kembali.


spokenwhalien.

Wednesday, December 26, 2018

3+2+1+1+1

Teruntuk kalian, delapan orang paling spesial di usia mudaku. 
Terima kasih telah mengajarkan, menunjukkan, serta memberikanku apa itu bahagia yang sederhana. Terima kasih telah memberitahuku apa itu sakit hati yang saat itu kupikir hanya fiksi belaka. Terima kasih telah mewarnai masa sekolah dasarku dengan warna-warni kalian yang indah. Terima kasih telah mengajarkanku perihal perbedaan—mulai dari agama, ras, jenis kelamin, usia, latar belakang, hingga cara pandang. Terima kasih telah menggambarkan bagaimana cara menjadi kakak yang baik nan asik juga adik yang cerdas nan penyayang.

Teruntuk kalian, tujuh adik serta satu kakakku.
Tak ada doa yang pantas kupanjatkan selain kebahagiaan di lingkungan baru serta kesuksesan di jalan hidup kalian masing-masing. Tak perlu sungkan untuk kembali, meski hanya sekedar berbagi kabar serta kisah hidup yang membebani. Aku takkan jauh-jauh, akan terus tetap ada di perumahan masa lalu ini.

Teruntuk kalian, aku sayang kalian. Sampai bertemu.


Dariku,
paling narsis pun paling sering menangis.

Saat itu

Jalan ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah berkejar-kejaran hingga menghiraukan peluh yang mulai menghiasi wajah.
Pernah saling bersembunyi di tempat terjauh yang sebenarnya dilarang.
Pernah berebut mainan, baik itu otopet maupun sepeda.

Lapangan ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah bermain bola tanpa menghiraukan terik matahari pukul dua siang.
Pernah latihan bermain tenis yang sampai detik ini kusesalkan.
Pernah bermain bentengan yang takkan ada habisnya.

Warung ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah meminta seseorang dari kita untuk membayar semua jajanan.
Pernah membeli segala macam makan dan minum seperti kita takkan kembali esok fajar.
Pernah cekcok hanya karena sebotol minuman segar.

Gang kecil ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah menakut-nakuti satu sama lain perihal kebun di sampingnya.
Pernah merasa seolah-olah gang ini memanglah milik kita semata.
Pernah tiba-tiba berhenti hanya untuk membiarkan salah satu dari kita berjalan sendiri di depan dan menertawainya.

Portal ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah berebut untuk duduk di batu paling atas.
Pernah menikmati matahari terbenam bersama sambil minum dan makan.
Pernah bertingkah seolah-olah kita adalah orang-orang yang amat hebat.

Perumahan ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah bercanda dan tertawa bersama.
Pernah ribut yang akhirnya akan berbaikan tanpa memandang siapa salah.
Pernah saling merangkul serta memeluk tanpa mengenal usia.

Sebelum semuanya memilih jalan hidupnya yang berlainan.

Saturday, December 22, 2018

S e n d i r i

Pada suatu masa, aku yang masih belum mengenal cinta sedang menangis di tangga rumah. Hatiku terasa patah, karena baru saja dibuat kecewa oleh teman sebayaku. Air mataku terus mengalir, dan suara sesegukanku seolah-olah tidak mau berhenti.

Ibuku menghampiriku setelah beliau mencuci piring. Beliau sudah terbiasa dengan suara sesegukanku yang dapat dikatakan cukup keras. Beliau hanya mengelus-elus rambut hitam tebalku. Beliau juga memghapus jejak air mata di pipiku.

"Kakak," aku menatapnya dan beliau menunjuk abangku yang sedang bermain laptop, "coba kau perhatikan abangmu itu."

Aku memperhatikannya dengan seksama. Abangku yang sedikit berbeda dari manusia kebanyakan sedang asyik bermain laptop. Kedua daun telinganya ditutupi headphone hitam. Aku tak bisa berkomentar apakah ia senang atau tidak, lantas raut mukanya akan selalu seperti itu tiap harinya. Sampai akhirnya ia tersenyum tipis aku dapat menyimpulkan bahwa ia menikmati kegiatannya itu.

"Dia sendirian, tak punya teman. Namun dia bisa berbahagia," mata hitam Ibu masih terpaku pada abangku yang sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang dibicarakan, "lalu mengapa kau menangis hanya karena ditinggal oleh temanmu?"

Setelah Ibu berkata demikian aku tersadar bahwasanya tak selamanya semua orang akan berbaik hati padaku. Tak selamanya semua orang akan mendengar keluh kesahku. Tak selamanya semua orang akan memahami duniaku. Dan tak selamanya semua orang akan terus ada untukku.

Karena nyatanya yang benar-benar akan berbaik hati padaku, mendengar keluh kesahku, memahami duniaku, dan terus ada untukku hanyalah diriku sendiri.

Monday, December 17, 2018

11:47 pm

Sometimes I wondered.

What would happened if I ignored you from the start?
What would happened if I listened to what they said?
What would happened if I stayed exactly where I am?
What would happened if I answered no and left?
What would happened if I never loved you?

And the only answer is, I won't be thinking about you over and over again tonight.

I also wondered.

How you let it all go so easily,
Like you weren't the one who fell in love first,
Like I wasn't the one who you adored that much,
Like the word 'us' never existed between me and you,
Like all of the words you said were some big lies?

How you let it all go so easily,
As if we never fought with the world together,
As if we never stared at each other's eyes that deep,
As if we never held onto each that tight,
As if we never tried so hard to work things out?

How you let it all go so fucking easily while here I am, still struggling to leave this room full of memories and shadows?

—spokenwhalien.

Friday, December 14, 2018

Pesan Terakhir

ini bukanlah pesan terakhir sebelum aku pergi dari dunia. ini juga bukan pesan terakhir sebelum aku mengakhiri perjalananku. apalagi pesan terakhir sebelum aku meninggalkan rumah ini. bukan, bukan. jangan berpikir sejauh itu.

ini adalah pesan terakhirku di umur yang kuanggap muda.

pesan ini kutujuan untukmu, diriku yang sudah lebih dewasa dalam bersikap. diriku yang sudah lebih objektif dalam memandang dunia. diriku yang sudah lebih cerdas dalam mengatur dirinya. diriku yang sudah lebih ceria dalam kesehariaannya. diriku yang sudah lebih mandiri dalam menjalani tiap detik hidupnya. diriku yang sudah lebih produktif dalam tiap waktu senggangnya. diriku yang sudah lebih termotivasi dalam usahanya untuk bangkit. untuk diriku yang sudah lebih baik dari detik-detik terakhir angka tujuh belas ini.

kau tahu? aku bangga padamu. kau benar-benar melakukan apa yang seharusnya aku dan angka-angka sebelumnya lakukan sejak lama. menjadi ambisius, mandiri, ceria, objektif, cerdas dan produktif. semua hal itu seharusnya kami lakukan sejak lama, namun kau tahu sendiri bahwa ada saja kerikil kecil yang menghalang. dan kami, yang masih terlalu cengeng ini, memilih untuk meratapi kerikil kecil itu dan menghiraukan target yang sudah kami bangun sejak lama.

kau lelah, ya? lelah dalam apapun itu. kau pasti lelah dalam berhadapan dengan dunia yang asing. lelah dalam menanggapi manusia-manusia yang tak sesuai ekspektasi. lelah dalam mengejar angan dan mimpi. lelah dalam hidup, bukankah begitu? kau tak perlu menjawabnya, aku juga merasakan itu semua. ya, meskipun tidak seburuk milikmu. namun jika aku bisa menghadapi, menanggapi, mengejar pun terus hidup, mengapa kau mengharapkan untuk semuanya berhenti? kau lebih kuat dari yang pernah kau tahu. kuharap kau sadar akan itu.

kau bahagia sekarang? besar harapku untuk kau berbahagia. baik sendiri maupun dengan seseorang bahkan beberapa orang. aku lebih memilih untuk berbahagia sendiri, meski kau tahu aku pernah berbahagia dengan seseorang. apakah ia kembali, atau yang sebelumnya yang mengetuk pintu hati? itu pilihanmu untuk membiarkan mereka memasuki hati atau justru mengusirnya. satu pesanku di topik ini, kau bisa berbahagia meski kau sendiri. seseorang yang mengenal dirimu sejak detik pertama kau hidup hanyalah dirimu. jangan menaruh kunci kebahagiaanmu di saku orang lain lagi. bawa saja kemanapun kau ingin pergi.

dariku, perwakilan dari umur-umur mudamu, kuharap kau terus merasa juga menebarkan bibit kebahagiaan, keceriaan, juga kedewasaan setiap harinya. sampaikan pesan ini pada angka-angka selanjutnya.

untuk : delapan belas
dari : tujuh belas.
Jakarta, 14 Desember 2018, 21:52.

Rumah


            Saya selalu penasaran dengan persepsi kalian semua. Oleh karena itu, tak jarang saya bertanya makna paskibra untuk diri kalian. Jawaban paling umum juga satu-satunya adalah keluarga. Saya pun meminta penjelasan dari kata keluarga yang kalian maksudkan. Lalu kalian menjelaskannya dengan gaya bicara kalian masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa kedekatan kalian itu seolah-olah seperti keluarga betulan. Ada pula yang mengatakan bahwa paskibra adalah tempat kalian bersandar dan mengadu saat kalian lelah. Penjelasan kalian tentu tidaklah salah, karena persepsi manusia pasti berbeda. Karena persepsi yang berbeda itulah, saya juga memiliki jawaban yang berbeda namun senada dengan kalian.
            Saya menganggap paskibra ini adalah rumah. Dan mengapa kata rumah yang saya pilih? Karena fungsi dari rumah itu sendiri. Fungsi dari rumah menurut definisi saya adalah tempat untuk berlindung saat dunia memberi ujian untuk saya. Selain itu, rumah berfungsi untuk menjadi tempat beristirahat saat saya kelelahan dan butuh peristirahatan sejenak. Lalu, rumah akan selalu menjadi tempat untuk berpulang, baik saat saya bahagia pun saat saya terpuruk.
            Lalu di dalam rumah akan selalu ada keluarga yang menanti saya. Tak peduli seberapa hancurnya saya, kalian akan terus membuka pintu rumah untuk menyambut saya pulang. Dan saat saya berbahagia, kalian akan menyiapkan telinga untuk mendengarkan alasan saya berbahagia. Serta saat saya tak merasakan apa-apa, kalian siap sedia untuk menaikkan rasa bahagia saya yang terpendam.
            Jadi secara intinya, paskibra merupakan rumahnya dan kalian adalah keluarganya.
                Selama tiga ratus enam puluh hari saya secara resmi menjadi bagian dari keluarga ini juga tinggal di dalam rumah ini. Selama itu pula saya bersama dengan kalian, manusia-manusia yang menerima saya apa adanya. Selama itu pula semua tetesan darah, keringat, dan air mata menghiasi setiap kegiatan yang kita lakukan. Segala macam canda tawa hingga jeritan amarah tak pernah luput dari interaksi kita tiap detiknya.
            Hingga hari ini, hari ke tiga ratus enam puluh, saya harus meninggalkan rumah ini, demi melanjutkan apa yang menjadi salah satu tujuan hidup saya. Dengan berat hati, hal ini harus saya lakukan. Namun dengan penuh percaya diri, saya melangkah keluar pintu dengan satu keyakinan; rumah ini akan diurus oleh orang-orang yang terbaik. Rumah ini akan dijaga dengan baik. Rumah ini akan menjadi tempat berpulang terbaik untukku.
            Karena sejatinya itulah fungsi rumah dan keluarga; sebagai tempat berpulang dan mengadu.

Jakarta, November 13, 2018, 14.44.

Monday, December 10, 2018

Aku selalu siap menjadi benteng yang kuat, apabila suatu masa nanti kau diserang.
Aku selalu siap menjadi perisai yang gagah, apabila suatu saat nanti dirimu dihujani peluru dikala perang.
Aku selalu siap menjadi tempat persembunyian yang nyaman, apabila suatu hari nanti dirimu butuh tempat untuk menghilang.
Aku selalu siap menjadi rumah yang kesekian, apabila nanti dirimu menyadari bahwa hanya aku yang tak pernah berlalu lalang.

Aku selalu ada untukmu,
meski kusadar kau hanya menjadikanku opsi sekian.
Aku selalu siap sedia untukmu,
meski kutahu kau hanya memanfaatkan.
Aku selalu siaga untukmu,
meski kupaham semua manusia di sekitarmu lebih meyakinkan.
Dan aku selalu di sini untukmu,
mesku kuyakin aku hanyalah sebuah pisau kecil tak berguna disaat yang lain adalah sebuah pedang yang sekali tebas mematikan ribuan lawan.

—spokenwhalien

Sunday, December 9, 2018

Kali ini pena mengibarkan bendera putihnya
Ia sudah tak sanggup menulis aksara tentang dan untukmu lagi

Kali ini lagu-lagu tentangmu merapikan barang-barangnya
Ia memilih untuk berdamai dengan jiwaku yang perlahan pulih

Kali ini kenangan bersamamu menyampaikan perpisahan terakhirnya
Ia sadar tak selamanya dirinya akan menghantui diri ini

Hati dengan perlahan namun pasti menutup pintunya
Ia tahu apa yang seharusnya dilakukan selama ini

—spokenwhalien

Berpegangan

"Aku bingung, namun aku tak tahu harus berpegangan ke mana."

Pada suatu masa, aku menuliskan sebuah kisah yang berawalan dengan percakapan itu. Lalu ada seorang lelaki yang menawarkan dirinya sebagai tempatku berpegangan. Ia meyakinkan diriku yang ragu akan tawarannya bahwasanya dirinya takkan pergi. Ia tawarkan pula bahunya untuk tempatku bersandar dan mengadu. Aku, yang hatinya pernah dingin bagai es dan menghalau segala macam lelaki untuk mendekat, akhirnya luluh pada kata-katanya.

Sepertinya aku tak perlu menyebut siapa lelaki itu, bukan?

Sekarang semua kata-katanya hanya menggema di gendang telingaku, diputar berulang kali di otakku, sementara dirinya menghilang dari hadapan gadis yang rapuh ini. Lalu, ke mana aku harus berpegangan, bersandar serta mengadu?

Jawabannya hanya ada dan cukup diriku sendiri. Persetan dengan para lelaki dengan kata-kata emasnya. Saatnya aku mengumandangkan kata-kata emas milikku pada diriku sendiri. Cukup sudah kutitipkan kunci kebahagiaanku di saku mereka. Saatnya kubawa kunci itu sendiri. Tak peduli dengan mereka yang memandangku salah. Saatnya kuangkat daguku dan berjalan dengan penuh percaya diri.

"Berpeganganlah pada dirimu sendiri," bisik sebagian dari diriku pada diriku sendiri.