Saturday, December 22, 2018

S e n d i r i

Pada suatu masa, aku yang masih belum mengenal cinta sedang menangis di tangga rumah. Hatiku terasa patah, karena baru saja dibuat kecewa oleh teman sebayaku. Air mataku terus mengalir, dan suara sesegukanku seolah-olah tidak mau berhenti.

Ibuku menghampiriku setelah beliau mencuci piring. Beliau sudah terbiasa dengan suara sesegukanku yang dapat dikatakan cukup keras. Beliau hanya mengelus-elus rambut hitam tebalku. Beliau juga memghapus jejak air mata di pipiku.

"Kakak," aku menatapnya dan beliau menunjuk abangku yang sedang bermain laptop, "coba kau perhatikan abangmu itu."

Aku memperhatikannya dengan seksama. Abangku yang sedikit berbeda dari manusia kebanyakan sedang asyik bermain laptop. Kedua daun telinganya ditutupi headphone hitam. Aku tak bisa berkomentar apakah ia senang atau tidak, lantas raut mukanya akan selalu seperti itu tiap harinya. Sampai akhirnya ia tersenyum tipis aku dapat menyimpulkan bahwa ia menikmati kegiatannya itu.

"Dia sendirian, tak punya teman. Namun dia bisa berbahagia," mata hitam Ibu masih terpaku pada abangku yang sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang dibicarakan, "lalu mengapa kau menangis hanya karena ditinggal oleh temanmu?"

Setelah Ibu berkata demikian aku tersadar bahwasanya tak selamanya semua orang akan berbaik hati padaku. Tak selamanya semua orang akan mendengar keluh kesahku. Tak selamanya semua orang akan memahami duniaku. Dan tak selamanya semua orang akan terus ada untukku.

Karena nyatanya yang benar-benar akan berbaik hati padaku, mendengar keluh kesahku, memahami duniaku, dan terus ada untukku hanyalah diriku sendiri.

No comments:

Post a Comment