"Aku bingung, namun aku tak tahu harus berpegangan ke mana."
Pada suatu masa, aku menuliskan sebuah kisah yang berawalan dengan percakapan itu. Lalu ada seorang lelaki yang menawarkan dirinya sebagai tempatku berpegangan. Ia meyakinkan diriku yang ragu akan tawarannya bahwasanya dirinya takkan pergi. Ia tawarkan pula bahunya untuk tempatku bersandar dan mengadu. Aku, yang hatinya pernah dingin bagai es dan menghalau segala macam lelaki untuk mendekat, akhirnya luluh pada kata-katanya.
Sepertinya aku tak perlu menyebut siapa lelaki itu, bukan?
Sekarang semua kata-katanya hanya menggema di gendang telingaku, diputar berulang kali di otakku, sementara dirinya menghilang dari hadapan gadis yang rapuh ini. Lalu, ke mana aku harus berpegangan, bersandar serta mengadu?
Jawabannya hanya ada dan cukup diriku sendiri. Persetan dengan para lelaki dengan kata-kata emasnya. Saatnya aku mengumandangkan kata-kata emas milikku pada diriku sendiri. Cukup sudah kutitipkan kunci kebahagiaanku di saku mereka. Saatnya kubawa kunci itu sendiri. Tak peduli dengan mereka yang memandangku salah. Saatnya kuangkat daguku dan berjalan dengan penuh percaya diri.
"Berpeganganlah pada dirimu sendiri," bisik sebagian dari diriku pada diriku sendiri.
No comments:
Post a Comment