Sunday, December 30, 2018

my youth

ini perihal masa kecil.

masa dimana terjatuh lalu menangis masih diampuni.
masa dimana tertawa lepas sangatlah dimaklumi.
masa dimana bergantung pada orang tua hukumnya wajib.
masa dimana cinta adalah kata yang asing.

ini perihal masa kecil.

saat itu diri ini merasa bebas.
saat itu takkan ada hal yang mengekang.
saat itu mimpi bertumpuk dan merasa hebat.
saat itu kata orang hanyalah candaan.

ini perihal masa kecil.

tampaknya diri ini menginginkannya kembali datang.
tampaknya dunianya sedang hampir rata dengan tanah.
tampaknya manusia lain tanpa henti mengekangnya.
tampaknya jiwanya hanya ingin menyerah dan melayang.

ini perihal masa kecil.

diri ini hanya mampu diam-diam meringis,
karena tak ada satu jiwa yang berbaik hati.
diri ini hanya mampu duduk dan menangis,
karena ia hanya perlu diri versi ciliknya kembali.


spokenwhalien.

Wednesday, December 26, 2018

3+2+1+1+1

Teruntuk kalian, delapan orang paling spesial di usia mudaku. 
Terima kasih telah mengajarkan, menunjukkan, serta memberikanku apa itu bahagia yang sederhana. Terima kasih telah memberitahuku apa itu sakit hati yang saat itu kupikir hanya fiksi belaka. Terima kasih telah mewarnai masa sekolah dasarku dengan warna-warni kalian yang indah. Terima kasih telah mengajarkanku perihal perbedaan—mulai dari agama, ras, jenis kelamin, usia, latar belakang, hingga cara pandang. Terima kasih telah menggambarkan bagaimana cara menjadi kakak yang baik nan asik juga adik yang cerdas nan penyayang.

Teruntuk kalian, tujuh adik serta satu kakakku.
Tak ada doa yang pantas kupanjatkan selain kebahagiaan di lingkungan baru serta kesuksesan di jalan hidup kalian masing-masing. Tak perlu sungkan untuk kembali, meski hanya sekedar berbagi kabar serta kisah hidup yang membebani. Aku takkan jauh-jauh, akan terus tetap ada di perumahan masa lalu ini.

Teruntuk kalian, aku sayang kalian. Sampai bertemu.


Dariku,
paling narsis pun paling sering menangis.

Saat itu

Jalan ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah berkejar-kejaran hingga menghiraukan peluh yang mulai menghiasi wajah.
Pernah saling bersembunyi di tempat terjauh yang sebenarnya dilarang.
Pernah berebut mainan, baik itu otopet maupun sepeda.

Lapangan ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah bermain bola tanpa menghiraukan terik matahari pukul dua siang.
Pernah latihan bermain tenis yang sampai detik ini kusesalkan.
Pernah bermain bentengan yang takkan ada habisnya.

Warung ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah meminta seseorang dari kita untuk membayar semua jajanan.
Pernah membeli segala macam makan dan minum seperti kita takkan kembali esok fajar.
Pernah cekcok hanya karena sebotol minuman segar.

Gang kecil ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah menakut-nakuti satu sama lain perihal kebun di sampingnya.
Pernah merasa seolah-olah gang ini memanglah milik kita semata.
Pernah tiba-tiba berhenti hanya untuk membiarkan salah satu dari kita berjalan sendiri di depan dan menertawainya.

Portal ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah berebut untuk duduk di batu paling atas.
Pernah menikmati matahari terbenam bersama sambil minum dan makan.
Pernah bertingkah seolah-olah kita adalah orang-orang yang amat hebat.

Perumahan ini adalah saksi bisunya.
Saksi bahwa saat itu kita pernah bercanda dan tertawa bersama.
Pernah ribut yang akhirnya akan berbaikan tanpa memandang siapa salah.
Pernah saling merangkul serta memeluk tanpa mengenal usia.

Sebelum semuanya memilih jalan hidupnya yang berlainan.

Saturday, December 22, 2018

S e n d i r i

Pada suatu masa, aku yang masih belum mengenal cinta sedang menangis di tangga rumah. Hatiku terasa patah, karena baru saja dibuat kecewa oleh teman sebayaku. Air mataku terus mengalir, dan suara sesegukanku seolah-olah tidak mau berhenti.

Ibuku menghampiriku setelah beliau mencuci piring. Beliau sudah terbiasa dengan suara sesegukanku yang dapat dikatakan cukup keras. Beliau hanya mengelus-elus rambut hitam tebalku. Beliau juga memghapus jejak air mata di pipiku.

"Kakak," aku menatapnya dan beliau menunjuk abangku yang sedang bermain laptop, "coba kau perhatikan abangmu itu."

Aku memperhatikannya dengan seksama. Abangku yang sedikit berbeda dari manusia kebanyakan sedang asyik bermain laptop. Kedua daun telinganya ditutupi headphone hitam. Aku tak bisa berkomentar apakah ia senang atau tidak, lantas raut mukanya akan selalu seperti itu tiap harinya. Sampai akhirnya ia tersenyum tipis aku dapat menyimpulkan bahwa ia menikmati kegiatannya itu.

"Dia sendirian, tak punya teman. Namun dia bisa berbahagia," mata hitam Ibu masih terpaku pada abangku yang sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang dibicarakan, "lalu mengapa kau menangis hanya karena ditinggal oleh temanmu?"

Setelah Ibu berkata demikian aku tersadar bahwasanya tak selamanya semua orang akan berbaik hati padaku. Tak selamanya semua orang akan mendengar keluh kesahku. Tak selamanya semua orang akan memahami duniaku. Dan tak selamanya semua orang akan terus ada untukku.

Karena nyatanya yang benar-benar akan berbaik hati padaku, mendengar keluh kesahku, memahami duniaku, dan terus ada untukku hanyalah diriku sendiri.

Monday, December 17, 2018

11:47 pm

Sometimes I wondered.

What would happened if I ignored you from the start?
What would happened if I listened to what they said?
What would happened if I stayed exactly where I am?
What would happened if I answered no and left?
What would happened if I never loved you?

And the only answer is, I won't be thinking about you over and over again tonight.

I also wondered.

How you let it all go so easily,
Like you weren't the one who fell in love first,
Like I wasn't the one who you adored that much,
Like the word 'us' never existed between me and you,
Like all of the words you said were some big lies?

How you let it all go so easily,
As if we never fought with the world together,
As if we never stared at each other's eyes that deep,
As if we never held onto each that tight,
As if we never tried so hard to work things out?

How you let it all go so fucking easily while here I am, still struggling to leave this room full of memories and shadows?

—spokenwhalien.

Friday, December 14, 2018

Pesan Terakhir

ini bukanlah pesan terakhir sebelum aku pergi dari dunia. ini juga bukan pesan terakhir sebelum aku mengakhiri perjalananku. apalagi pesan terakhir sebelum aku meninggalkan rumah ini. bukan, bukan. jangan berpikir sejauh itu.

ini adalah pesan terakhirku di umur yang kuanggap muda.

pesan ini kutujuan untukmu, diriku yang sudah lebih dewasa dalam bersikap. diriku yang sudah lebih objektif dalam memandang dunia. diriku yang sudah lebih cerdas dalam mengatur dirinya. diriku yang sudah lebih ceria dalam kesehariaannya. diriku yang sudah lebih mandiri dalam menjalani tiap detik hidupnya. diriku yang sudah lebih produktif dalam tiap waktu senggangnya. diriku yang sudah lebih termotivasi dalam usahanya untuk bangkit. untuk diriku yang sudah lebih baik dari detik-detik terakhir angka tujuh belas ini.

kau tahu? aku bangga padamu. kau benar-benar melakukan apa yang seharusnya aku dan angka-angka sebelumnya lakukan sejak lama. menjadi ambisius, mandiri, ceria, objektif, cerdas dan produktif. semua hal itu seharusnya kami lakukan sejak lama, namun kau tahu sendiri bahwa ada saja kerikil kecil yang menghalang. dan kami, yang masih terlalu cengeng ini, memilih untuk meratapi kerikil kecil itu dan menghiraukan target yang sudah kami bangun sejak lama.

kau lelah, ya? lelah dalam apapun itu. kau pasti lelah dalam berhadapan dengan dunia yang asing. lelah dalam menanggapi manusia-manusia yang tak sesuai ekspektasi. lelah dalam mengejar angan dan mimpi. lelah dalam hidup, bukankah begitu? kau tak perlu menjawabnya, aku juga merasakan itu semua. ya, meskipun tidak seburuk milikmu. namun jika aku bisa menghadapi, menanggapi, mengejar pun terus hidup, mengapa kau mengharapkan untuk semuanya berhenti? kau lebih kuat dari yang pernah kau tahu. kuharap kau sadar akan itu.

kau bahagia sekarang? besar harapku untuk kau berbahagia. baik sendiri maupun dengan seseorang bahkan beberapa orang. aku lebih memilih untuk berbahagia sendiri, meski kau tahu aku pernah berbahagia dengan seseorang. apakah ia kembali, atau yang sebelumnya yang mengetuk pintu hati? itu pilihanmu untuk membiarkan mereka memasuki hati atau justru mengusirnya. satu pesanku di topik ini, kau bisa berbahagia meski kau sendiri. seseorang yang mengenal dirimu sejak detik pertama kau hidup hanyalah dirimu. jangan menaruh kunci kebahagiaanmu di saku orang lain lagi. bawa saja kemanapun kau ingin pergi.

dariku, perwakilan dari umur-umur mudamu, kuharap kau terus merasa juga menebarkan bibit kebahagiaan, keceriaan, juga kedewasaan setiap harinya. sampaikan pesan ini pada angka-angka selanjutnya.

untuk : delapan belas
dari : tujuh belas.
Jakarta, 14 Desember 2018, 21:52.

Rumah


            Saya selalu penasaran dengan persepsi kalian semua. Oleh karena itu, tak jarang saya bertanya makna paskibra untuk diri kalian. Jawaban paling umum juga satu-satunya adalah keluarga. Saya pun meminta penjelasan dari kata keluarga yang kalian maksudkan. Lalu kalian menjelaskannya dengan gaya bicara kalian masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa kedekatan kalian itu seolah-olah seperti keluarga betulan. Ada pula yang mengatakan bahwa paskibra adalah tempat kalian bersandar dan mengadu saat kalian lelah. Penjelasan kalian tentu tidaklah salah, karena persepsi manusia pasti berbeda. Karena persepsi yang berbeda itulah, saya juga memiliki jawaban yang berbeda namun senada dengan kalian.
            Saya menganggap paskibra ini adalah rumah. Dan mengapa kata rumah yang saya pilih? Karena fungsi dari rumah itu sendiri. Fungsi dari rumah menurut definisi saya adalah tempat untuk berlindung saat dunia memberi ujian untuk saya. Selain itu, rumah berfungsi untuk menjadi tempat beristirahat saat saya kelelahan dan butuh peristirahatan sejenak. Lalu, rumah akan selalu menjadi tempat untuk berpulang, baik saat saya bahagia pun saat saya terpuruk.
            Lalu di dalam rumah akan selalu ada keluarga yang menanti saya. Tak peduli seberapa hancurnya saya, kalian akan terus membuka pintu rumah untuk menyambut saya pulang. Dan saat saya berbahagia, kalian akan menyiapkan telinga untuk mendengarkan alasan saya berbahagia. Serta saat saya tak merasakan apa-apa, kalian siap sedia untuk menaikkan rasa bahagia saya yang terpendam.
            Jadi secara intinya, paskibra merupakan rumahnya dan kalian adalah keluarganya.
                Selama tiga ratus enam puluh hari saya secara resmi menjadi bagian dari keluarga ini juga tinggal di dalam rumah ini. Selama itu pula saya bersama dengan kalian, manusia-manusia yang menerima saya apa adanya. Selama itu pula semua tetesan darah, keringat, dan air mata menghiasi setiap kegiatan yang kita lakukan. Segala macam canda tawa hingga jeritan amarah tak pernah luput dari interaksi kita tiap detiknya.
            Hingga hari ini, hari ke tiga ratus enam puluh, saya harus meninggalkan rumah ini, demi melanjutkan apa yang menjadi salah satu tujuan hidup saya. Dengan berat hati, hal ini harus saya lakukan. Namun dengan penuh percaya diri, saya melangkah keluar pintu dengan satu keyakinan; rumah ini akan diurus oleh orang-orang yang terbaik. Rumah ini akan dijaga dengan baik. Rumah ini akan menjadi tempat berpulang terbaik untukku.
            Karena sejatinya itulah fungsi rumah dan keluarga; sebagai tempat berpulang dan mengadu.

Jakarta, November 13, 2018, 14.44.

Monday, December 10, 2018

Aku selalu siap menjadi benteng yang kuat, apabila suatu masa nanti kau diserang.
Aku selalu siap menjadi perisai yang gagah, apabila suatu saat nanti dirimu dihujani peluru dikala perang.
Aku selalu siap menjadi tempat persembunyian yang nyaman, apabila suatu hari nanti dirimu butuh tempat untuk menghilang.
Aku selalu siap menjadi rumah yang kesekian, apabila nanti dirimu menyadari bahwa hanya aku yang tak pernah berlalu lalang.

Aku selalu ada untukmu,
meski kusadar kau hanya menjadikanku opsi sekian.
Aku selalu siap sedia untukmu,
meski kutahu kau hanya memanfaatkan.
Aku selalu siaga untukmu,
meski kupaham semua manusia di sekitarmu lebih meyakinkan.
Dan aku selalu di sini untukmu,
mesku kuyakin aku hanyalah sebuah pisau kecil tak berguna disaat yang lain adalah sebuah pedang yang sekali tebas mematikan ribuan lawan.

—spokenwhalien

Sunday, December 9, 2018

Kali ini pena mengibarkan bendera putihnya
Ia sudah tak sanggup menulis aksara tentang dan untukmu lagi

Kali ini lagu-lagu tentangmu merapikan barang-barangnya
Ia memilih untuk berdamai dengan jiwaku yang perlahan pulih

Kali ini kenangan bersamamu menyampaikan perpisahan terakhirnya
Ia sadar tak selamanya dirinya akan menghantui diri ini

Hati dengan perlahan namun pasti menutup pintunya
Ia tahu apa yang seharusnya dilakukan selama ini

—spokenwhalien

Berpegangan

"Aku bingung, namun aku tak tahu harus berpegangan ke mana."

Pada suatu masa, aku menuliskan sebuah kisah yang berawalan dengan percakapan itu. Lalu ada seorang lelaki yang menawarkan dirinya sebagai tempatku berpegangan. Ia meyakinkan diriku yang ragu akan tawarannya bahwasanya dirinya takkan pergi. Ia tawarkan pula bahunya untuk tempatku bersandar dan mengadu. Aku, yang hatinya pernah dingin bagai es dan menghalau segala macam lelaki untuk mendekat, akhirnya luluh pada kata-katanya.

Sepertinya aku tak perlu menyebut siapa lelaki itu, bukan?

Sekarang semua kata-katanya hanya menggema di gendang telingaku, diputar berulang kali di otakku, sementara dirinya menghilang dari hadapan gadis yang rapuh ini. Lalu, ke mana aku harus berpegangan, bersandar serta mengadu?

Jawabannya hanya ada dan cukup diriku sendiri. Persetan dengan para lelaki dengan kata-kata emasnya. Saatnya aku mengumandangkan kata-kata emas milikku pada diriku sendiri. Cukup sudah kutitipkan kunci kebahagiaanku di saku mereka. Saatnya kubawa kunci itu sendiri. Tak peduli dengan mereka yang memandangku salah. Saatnya kuangkat daguku dan berjalan dengan penuh percaya diri.

"Berpeganganlah pada dirimu sendiri," bisik sebagian dari diriku pada diriku sendiri.

Sunday, November 18, 2018

my last seven days


D-7

Hari ini adalah hari ke-83 setelah kau memutuskan untuk mundur dari segala usahamu. Sudah dua bulan dan 22 hari lamanya aku menjalani hidup tanpa sandaran. Kuakui, aku mulai terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Namun ada beberapa waktu kelam di hari-hariku yang takkan kuelakkan bahwa aku membutuhkan sebuah sandaran. Namun lihatlah aku sekarang. Dengan bangga kukatakan bahwa aku mulai bisa bangkit di atas kakiku sendiri.

Saat itu, secara tak langsung aku memintamu untuk menjadi saksi nyata perjuanganku. Namun belum seberapa perjuanganku kau akhirnya mundur. Baiklah, aku mulai menerima keputusanmu sebagai salah seorang penonton di perjalananku ini. Atau hanya sekedar orang numpang lewat saja.

Jika kau berpikiran untuk kembali, kuberi waktu tujuh hari lagi untuk benar-benar merealisasikannya. Sebagai apapun yang kau mau, baik sebagai seseorang yang akan mendampingi hidupmu maupun hanya sekedar teman di sekitarmu. Setelah tujuh hari itu, kuharap otakmu tidak memikirkan siasat bagaimana untuk merebutku kembali.

Kuanggap ini adalah dirimu yang sebenarnya. Jadi, izinkan aku menunjukkan diriku yang sebenarnya.

D-6

Tulisan ini kutujukan padamu, wahai gadis selanjutnya.

Andai pada akhirnya kau adalah gadis juga wanita yang akan ia pilih, kuharap kaujaga dirinya baik-baik. Lelaki yang memilihmu itu memanglah lelaki yang memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi, ambisinya tertanam kuat dalam dirinya, pintar sedari kecil, perhatian nan pengertian. Namun kau harus sadar bahwasanya ia pun manusia biasa. Tak selamanya kepalanya akan terus tegak, terkadang ia perlu sepasang bahu yang kokoh untuk mengisi daya. Tak selamanya matanya akan terus menatap dengan tegas, terkadang ia perlu sepasang mata yang bisa meredam api amarahnya pun membangkitkan semangatnya. Tak selamanya hatinya akan terus membawa kedamaian, terkadang ia perlu sepasang lengan untuk menghentikan segala perdebatan dalam dirinya. Tak selamanya ia berani, terkadang ia perlu seseorang untuk membangkitkan keberaniannya kembali.

Andai pada akhirnya kau adalah gadis juga wanita yang akan ia pilih, kumohon kauperlakukan dirinya seperti yang seharusnya. Tumpahkan segala rasa perhatianmu padanya. Buktikan segala rasa sayangmu padanya. Tunjukkan segala rasa pedulimu padanya. Arahkan segala jalan yang baik dan benar padanya. Utarakan segala hal yang kaurasa padanya. Dan yang terpenting, jadilah air saat apinya membara, namun jangan berlaku sebaliknya. Lelaki yang memilihmu itu pasti memiliki rasa sayang yang tak kalah besar darimu. Percayalah, ia akan menunjukkannya padamu bagaimanapun caranya, kapanpun momennya. Ia akan memperlakukanmu seperti ratunya, dan ia akan membuktikan bahwa dirinya adalah seorang raja yang pantas untukmu.

Andai pada akhirnya kau adalah gadis juga wanita yang akan ia pilih, kupercaya bahwa kau takkan melakukan hal yang sama sepertiku. Kuharap serta kumohon agar kau benar-benar menjaganya, tanpa embel-embel untukku. Itu adalah hidup kalian, dan aku tak ada sangkut pautnya lagi.

Sampaikan salam perpisahanku padanya. Semoga kalian bisa membahagiakan satu sama lain.

D-5

괜찮아 우리가 아니어도
It’s alright even if it’s not us
슬픔이  지워도
even if sadness erases me
먹구름은  끼고  끝없는  속이어도
even if there are clouds, even if I’m in an endless dream
한없이 구겨지고
even if I’m endlessly crumpled
날개는 찢겨지고
even if my wings are torn
언젠가 내가 내가 아니게 된달지어도
Even if someday, I’m not me anymore.

(BTS – I’m Fine)


D-4

I didn’t want to let you go. That is my greatest secret. But I promised myself I would never keep anyone who did not want to stay. And though everyone may leave in the end, we owe it to ourselves to keep our promises. I promised my heart I wouldn’t stop you if you left. And I keep that promise, even though my heart breaks each time I think of you.
--A. Ram


 
D-3

Hari ini, pertahanan yang secara perlahan saya bangun kembali rata dengan tanah. Hal ini terjadi hanya karena Anda duduk bersanding di samping dirinya, gadis yang kaucantumkan di foto profilmu itu. Tatapan kalian memancarkan kebahagiaan, percakapan kalian menghantarkan keseruan yang tiada tara. Suara tawa kalian menggema di gendang telinga saya. Semua itu makin mengingatkan saya pada segala hal yang pernah saya dan Anda lakukan pada masanya.
"Saya tak tahu-menahu masalah itu," jawab salah seorang teman saya—yang juga teman Anda, "Namun yang saya dengar, mereka memang dekat."
Saat itu juga, pandangan saya mulai buram. Pelupuk mata saya rasanya dipenuhi suatu cairan. Saya memilih untuk merunduk sembilan puluh derajat. Dan benar dugaan saya, setitik dua titik air mata mulai membasahi pipi saya.
Di hadapannya, saya menampakkan diri saya serendah-rendahnya. Saya kembali menangisi perihal yang sama, setelah hampir tiga bulan lamanya. Menyesali hal-hal yang seharusnya saya lakukan. Memutar kembali rekaman-rekaman yang seharusnya saya buang sejak lama.
Ya, saya kembali mengharapkan kehadiran kata 'kita' di antara saya dan Anda.
Jika saya bisa bertanya pada Anda dan akan dijawab secara langsung, mengapa Anda bisa melupakan segalanya secepat ini? Apakah perihal Anda menginginkan saya semenjak setahun tiga bulan yang lalu itu hanya omong kosong agar Anda bisa mendapatkan hati saya saat itu?

Atau jangan-jangan, semua hal yang Anda sampaikan pada saya sebenarnya omong kosong belaka?


 
D-2

Bagai seorang empat tahun yang ditinggal terbang balon yang baru didapatnya.
Bahwa tak lama kemudian, dirinya diberi es krim kesukaannya oleh pamannya.

Bagai seorang delapan tahun yang dipaksa pindah dari sekolah yang memberikan kenyamanan tak terhingga untuknya.
Bahwa ternyata, di sana banyak pelajaran hidup yang didapatnya.

Bagai seorang dua belas tahun yang ditolak dari sekolah impiannya.
Bahwa akhirnya, posisi juara pertama di turnamen terakhirnya berhasil disabet oleh tim basket kebanggaannya.

Bagai seorang empat belas tahun yang ditinggal pergi oleh kakek serta sahabat terbaiknya.
Bahwa keselanjutannya, dirinya belajar bahwa tak selamanya semua orang ada di sampingnya.

Bagai seorang tujuh belas tahun yang kehilangan sebelah pantofel ditengah-tengah lomba ketiganya.
Bahwa malamnya, tim paskibranya bisa menyumbang piala harapan satu setelah hampir dua puluh tahun lamanya.

Bahwa sejatinya, segalanya akan membaik pada saatnya.
 

 
D-1

Selama ini saya selalu berbisik lirih,
Meminta Anda untuk mengajari diri ini
Suatu hal yang Anda lakukan tanpa henti;
Cara untuk menjadi sosok yang tidak peduli.

Namun kali ini saya belajar untuk berhenti,
Tak lagi mengemis rasa simpati pun empati
Dari makhluk yang tidak tahu diri
Pun tak tahu terima kasih.

Hingga suatu saat nanti,
Anda memilih untuk menjatuhkan harga diri
Lalu mengemis sebuah jabatan yang sejatinya untuk diri yang lain,
Suatu jabatan yang seharusnya bersifat abadi.

Saat itu ujian saya dimulai.



D-0

Hari ini seharusnya saya melepas semua. Jabatan yang selama ini menyandangi nama saya pun bayang-bayang Anda. Namun sepertinya Tuhan berbisik untuk bertahan dengan jabatan ini satu hari lagi. Dengan penuh pertimbangan saya menuruti bisikan itu. Namun itu tidak berarti saya juga menunda pelepasan bayang-bayang Anda yang menghantui saya selama ini.
Saya tahu besok Anda akan merasa kecewa, sehingga izinkan saya untuk menitipkan pesan terakhir untuk Anda. Ini perihal rasa kecewa dan penasaran.
Rasa kecewa takkan bisa Anda elakkan dari kehidupan sehari-hari. Tak jarang rasa kecewa itu menimbulkan rasa penasaran yang tiada tara. Namun apakah semua pertanyaan yang terlintas dalam pikiran Anda itu harus dijawab secara eksplisit pula?
Saya akan tegaskan bahwasanya hidup tidak sesederhana bertanya pada seseorang lalu ia akan menjawabnya segera.
Perumpamaannya seperti Anda membutuhkan uang, namun seseorang yang punya wewenang untuk menggaji Anda takkan memberikannya secara cuma-cuma. Dunia ini tidak ada yang gratis. Anda harus bekerja membanting tulang demi gaji yang diharapkan sesuai. Dan mendapat gaji tersebut juga ada waktunya, tidak dengan Anda meminta gaji tersebut dan langsung diberikan.

Saya pun akan tegaskan bahwasanya hidup tidak sesederhana Anda bertanya pada seseorang lalu ia akan menjawabnya secara gamblang saat itu juga.
Perumpamaannya seperti soal-soal sosiologi. Anda mungkin tidak bisa merelasikannya, namun sesekali cobalah Anda membaca soal-soalnya. Tak jarang dikatakan bahwa jawaban di tiap soalnya itu mirip. Bagaimana caranya agar bisa menemukan jawabannya? Caranya adalah menganalisa. Membaca dengan teliti, sampai Anda menemukan satu atau dua kata kunci yang bisa digunakan untuk mencari jawabannya.
Ayolah, dunia ini tidak sesempit permintaan Anda. Bukalah pikiran Anda, cobalah berpikir dengan persepsi yang lain, analisalah jawaban yang tepat atas pertanyaan di otak Anda.

Sehingga nantinya Anda tahu alasan saya tidak menjawab pertanyaan Anda secara utuh.

diam

"Anda tak seharusnya bangga menjadi pendiam."

Apakah ada buktinya bahwasanya saya bangga akan sifat ini? Apakah saya pernah mengatakan secara langsung mengenai kebanggaan saya tentang ini? Sebutkan kapan hari dan tanggal beserta bagaimana saya mengatakannya apabila hal tersebut memang pernah saya banggakan. Dan jika Anda tidak bisa menemukan buktinya, saya pinta Anda untuk turut diam dan tidak menuduh saya yang tidak-tidak.

Karena jika saya harus jujur, saya sama sekali tidak bangga. Mengapa?

Saya penakut. Bukan hanya takut pada makhluk halus, atau kecoak. Saya takut akan reaksi lawan bicara atau khalayak luas. Saya takut dihadang oleh emosi lawan bicara yang nantinya akan meledak-ledak apabila saya sampaikan apa yang ada di otak saya. Terkadang saya tak punya keberanian untuk menyampaikan buah pikiran saya karena takut perasaan orang lain tersinggung bahkan terluka.

Melankolis? Memang.

Monday, November 5, 2018

mati

diriku yang sebenarnya pernah terpendam di dalam alam bawah sadarku. terkunci di dalam peti dengan rapatnya. jangankan engkau, aku pun tak mampu menemukannya. baik menemukan jalan keluar dari peti sialan ini dan mendaki kembali ke dunia, maupun menggali alam bawah sadarku dan menemukan peti tersebut.

meski begitu, aku memiliki kuncinya. itu memerlukan waktu bertahun-tahun lamanya untuk menyadari bahwasanya selama ini kunci yang bertengger di saku kemejaku adalah kunci untuk membuka si peti. pertualanganku mencari peti dimulai. mulai dari sendirian, lalu didampingi seorang lelaki, hingga ia meninggalkanku sekarang. mulai dari jalan berliku, tanjakan serta turunan tajam, jalanan rusak, sampai tak tersedia akses.

segalanya rela kutempuh, demi diriku yang sebenarnya.

sampai suatu hari kutemukan yang selama ini kucari. aku gali tanah yang kering kerontang itu dengan sisa tenaga yang ada. dan akhirnya peti itu tepat di depan mataku. namun saatku menarik kuncinya dari saku kemejaku, seketika langit menjadi gelap dilengkapi dengan petir-petir yang menggelegar. pohon-pohon nyaris terangkat dari tanah, dan aku seperti ditarik seseorang menjauh dari peti itu. mataku ditutupi oleh sehelai kain hitam yang tebal, serta tangan dan kakiku rasanya seperti diborgol.

tak tampak satu hal pun dari indra penglihatanku. yang kurasa masih sama, sampai seluruh tubuhku dibanting oleh siapapun itu. hal-hal terakhir yang kudengar adalah suara peti yang tertimbun tanah, kunci yang seperti disentil menggunakan kuku, dan suaraku sendiri yang bukan aku yang berbicara. kupercaya, makhluk yang membantingku adalah iblis yang selama ini menjadi musuhku.

"takkan ada seorang pun yang tahu tentang perjuanganmu ini, karena kau tak berguna."

setelah itu yang kuingat hanyalah suara seperti pintu di hadapanku dibanting, dan beberapa saat kemudian aku kehabisan nafas.

the truth untold 3.0

dari : baru
untuk : kalian, yang membangun tenda dalam rumah

22:54.

untuk hasil ketikanku malam yang tak begitu dingin ini, aku sama sekali tak peduli dengan huruf kapital. sama persis seperti kalian yang nyaris tak pernah peduli tentang kejadian yang menghadang turunnya kita.

baiklah, langsung saja. aku sudah terlewat gemas ingin membahas ini secara gamblang pada kalian.

pertama, dari dalam lubuk hatiku aku lelah dengan kalian. di sini, kita semua diamanahkan untuk melanjutkan tongkat estafet, termasuk aku. mengingat hal itu, aku berusaha sebisaku untuk tidak mengecewakan mereka yang telah percayakan tongkat ini padaku. namun pada nyatanya, aku dikomentari anggota-baru-yang-terlalu-dominan oleh kalian. menjalankan amanah ini saja sudah melelahkan, ditambah lagi dengan rekan kerjaku yang mengomentariku dengan pedasnya seperti itu. lebih melelahkannya lagi, kalian tidak mengatakan itu beserta solusinya di hadapanku. di mana? di dalam tenda yang kalian bangun dalam rumah itu.

kalian takkan pernah tahu bahwasanya aku pernah mengalami hal yang serupa seperti sekarang, kan? ya, aku pernah hidup di sebuah rumah yang di dalamnya dibangun sebuah tenda. orang-orang memilih untuk tidur serta beraktivitas di dalam sana, tanpa mengajakku. saatku berinisiatif untuk masuk, mereka mengusirku. dan begitulah hidupku saat itu, sendirian di tempat ramai. hingga akhirnya aku memilih untuk meninggalkannya dan mencari tempat hunian baru.

bayangkan saja, saat kau mendapat tempat hunian baru yang kaurasa cocok untukmu justru sama persis seperti sebelumnya. ditambah lagi, kau tak boleh keluar sampai waktunya keluar. sederhananya, sekalinya kau masuk takkan bisa keluar sampai waktunya tiba. sama saja seperti kau menghindari lubang yang pernah menjerumuskanmu, namun orang-orang di sekitarmu justru mendorongmu ke dalam lubang tersebut. membuang-buang waktu. tidak berguna.

dan wahai kawan-kawan seperjuanganku, itulah deskripsi kecil tentang kehidupanku saat ini bersama kalian.

kedua, bukalah mata kalian. aku sadar kita semua di sini sudah tak tahan dengan mereka yang makin hari makin memberontak. namun kutanyakan di sini untuk pertama dan terakhir kalinya, siapa yang bertanggung jawab atas mereka, jika bukan kita? mau tak mau, masalah ini harus diselesaikan sebelum kita turun. ini bukan perihal sudah sibuk atau mereka sudah mandiri, ini perihal tanggung jawab.

ketiga dan sebagai penegas, mengapa kalian ini lebih memilih untuk membicarakan sesuatu di balik punggung orang yang bersangkutan? kalian pengecutkah? camkan ini baik-baik. sesering apapun kalian membicarakannya di balik punggungnya, itu takkan mengubah peringai atau pola pikir orang itu. jika kalian tak suka, bicarakan baik-baik. seharusnya itu bukanlah hal yang sulit untuk kalian. hanya saja kalian semua--herannya--sama-sama menganut sistem menjunjung tinggi ego. sehingga tak ada satupun antara kalian yang berinisiatif untuk membicarakannya baik-baik. aku takkan mengatakan ini apabila kalian sudah melakukan hal yang kusebut barusan. ayolah, kalian sudah besar. berhenti jadi seorang pengecut.

aku pun tak berharap banyak dari tulisan ini. jikalau kalian membacanya sekalipun juga takkan mengubah pola pikir kalian, percuma. setidaknya aku tuangkan apa yang selama ini aku rasakan.

23:19.

Sunday, October 28, 2018

maaf.

Maaf, untuk hari ini saya harus berusaha untuk tidak menyangkutpautkan keadaan yang ada antara saya dan Anda. Untuk hari ini saya harus meruntuhkan gengsi saya demi bisa berhadapan dengan Anda yang sedang menyalahkan diri.

Maaf, saya harus benar-benar lakukan itu tadi. Karena saya hanya ingin Anda bahagia tanpa menyalahkan diri Anda hari ini. Karena seharusnya Anda menitikkan air mata bangga, bukannya menitikkan air mata bersalah.

Maaf, sekali lagi. Saya takkan lakukan ini lagi, jika Anda tak menginginkannya.

Wednesday, October 24, 2018

Rindu dan Aku

Malam ini, Rindu mengetuk pintu hatiku yang nyaris tertutup lalu menyelonong masuk tanpa dosa. Setelah itu tanpa rasa bersalah ia mengobrak-abrik seisi hatiku dan mencari kotak kenanganku denganmu waktu itu. Kotak itu telah kukunci rapat-rapat, bahkan aku nyaris lupa di mana kutaruh kunci itu. Dan entah pengetahuan dari mana, rindu menemukan persembunyian sang kunci dalam sekali pencarian. Lalu dengan segera rindu membukanya dan menjejerkan segala isi kotak itu di hadapanku. Seusai mengurutkan peristiwa yang ada di dalam kotak itu, ia meninggalkanku dengan isi kotak sialan itu.

Mataku meneliti tiap benda yang dipamerkan di hadapanku. Kebanyakan benda di hadapanku ini berbentuk foto. Dari tiap sorot mata dan lekukan bibir, aku bisa pastikan bahwa itu semua merupakan saat-saat bahagia milikku dan milikmu. Ada juga yang berbentuk kertas yang berisikan kata-kata yang tak pernah kulupa, baik itu yang pernah kutulis maupun kau yang menuliskannya.

Otakku pun dikuasai oleh Rindu. Ia membuka sebuah pintu yang mengarah ke penyimpanan memoriku denganmu saat itu. Lalu semua memori di dalam sana diputarkan bagai film yang tak berujung. Nyamannya bahumu, teduhnya tatapanmu, kuatnya genggamanmu, tenangnya suaramu, manisnya kata-katamu, dan nyatanya rasa sayangmu saat itu. Semua itu diputar tanpa ampun.

Dan aku duduk bersila, lemah nan pasrah dengan kelakuan rindu itu. Entah sejak kapan, air mata mulai berlomba-lomba untuk menyentuh lantai. Diriku tak mampu mempertahankan benteng yang dibangun sejak kau pergi ini. Di malam yang kelam ini, benteng itu runtuh kembali. Atau perlu kukatakan, hancur lebur bagai kapal pecah?

Benteng itu rata dengan tanah sekarang, dan sialnya aku harus bangun itu dari awal lagi. Sendirian.

"Kau tahu," Rindu kembali menghadapku, "Kau harus katakan padanya bahwasanya malam ini aku datang menghampirimu dan mengobrak-abrik ini." Ia katakan itu dengan santainya, seperti kata-katanya itu sama sekali tidak salah.

"Kau mengatakan itu seolah-olah itu merupakan hal mudah, seperti membalikkan telapak tangan," sanggahku dengan suara bergetar. Aku sama sekali tidak menatap Rindu, namun aku bisa merasakan tatapannya yang mengejekku.

"Memang mudah, bukan?" suara angkuhnya memenuhi ruangan, "Kau tinggal pergi menghadapnya dan bilang bahwa aku datang dan mengobrak-abrik ini semua. Lalu kau minta dia agar datang kembali ke sini dan membantumu merapikan semuanga seperti sedia kala." Kali ini, aku beranikan diriku menatap nanar matanya. Mengisyaratkannya untuk menarik perkataannya barusan dari tatapan mataku. Namun sepertinya ia tak berniat dan tetap bersikukuh dengan pernyataannya itu.

"Dia takkan pernah kembali, kuharap kau tahu tentang itu, wahai makhluk sialan." Air mataku kembali jatuh dengan mulusnya, dan suaraku makin bergetar dari sebelumnya. Saking bergetarnya, sekali lagi aku berbicara rasanya aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Kuatur napasku dan gerakan naik-turun bahuku, lalu kulanjutkan perkataanku.

"Keadaan menghancurkan segalanya, ia membangun jarak yang teramat jauh antara aku dan dia. Jika bisa kusimpulkan secara sepihak, mungkin kotak kenanganku dengannya di hatinya sudah dia buang, bahkan dia bakar sampai menjadi abu. Juga otakknya sudah menghapuskan namaku beserta segala hal tentangku. Nyamannya bahuku, teduhnya tatapanku, kuatnya genggamanku, tenangnya suaraku, manisnya kata-kataku, dan nyatanya rasa sayangku saat itu. Semua memori manisku dengannya sudah dia hapuskan, namun memori pahit terus membekas di sana. Bisa kulihat dari tatapan dinginnya saat kedua indra penglihatannya berserobok dengan milikku. Dengan itu semua maka kuminta kau, Rindu, untuk jelaskan padaku bagaimana caranya untuk membawanya kembali dan merapikan ini semua?"

Kuakhiri pidato singkatku itu dengan sesegukan yang hebat dan derasnya air mata yang jatuh ke lantai pun jejaknya di pipi. Kututup bibirku yang bergetar menggunakan telapak tangan kananku, dan tangan kiriku meremas baju bagian dadaku. Bahuku bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Aku tak memperhatikan Rindu yang entahlah apakah ia dengarkan semua kata-kataku itu atau membiarkannya pergi mengikuti arus udara.

"Dan kau pikir aku di sini akan membantumu mencarikan solusi?" tanyanya balik dengan nada amat sangat angkuh yang membuat telingaku panas mendengarnya.

"Seperti inilah tugasku. Datang tanpa diundang dan masuk tanpa diizinkan, lalu mengobrak-abrik kotak kenanganmu dengan orang yang paling berharga untukmu. Sebatas itu. Tak ada hak pula kewajiban untukku membantu mencarikan solusi untukmu. Jadi mengenai masalahmu itu, silahkan cari jalan keluarnya sendiri. Itu bukan urusanku, pun aku tak peduli."

Lalu Rindu menyelonong pergi tanpa rasa iba padaku. Meninggalkan hatiku yang isinya bagai kapal pecah, otakku yang tanpa henti memutarkan memori yang sudah pernah kuniatkan untuk melupakannya, bentengku yang sudah rata dengan tanah, juga diriku yang rasanya inginku memenggal kepalanya itu. Tanpa mengindahkan air mata yang belum berhenti mengalir, aku mengambil salah satu lembar foto yang berserakan di hadapanku dan satu buah pena. Kubalik foto itu sehingga bagian yang kosong menghadapku, lalu kutaruh di lantai dan mulai menggoreskan kata demi kata dibalik foto itu.

Bagaimana rasanya sudah bisa membakar kotak kenangan yang pernah kita simpan bersama? Bagaimana rasanya sudah bisa melupakan memori yang pernah kita rekam bersama? Bagaimana rasanya sudah bisa membangun kembali benteng yang pernah kita runtuhkan dan bangun bersama kembali? Bagaimana rasanya sudah bisa mengubah kata ganti 'kita' menjadi 'aku dan kau'? 
Bagaimana rasanya sudah bisa pergi dari hidupku dengan leganya? Puastah?

Kubalik kertas itu sehingga fotonyalah yang kulihat sekarang. Foto itu merupakan foto terakhirku denganmu, kurang lebih empat belas jam sebelum akhirnya kauputuskan untuk mundur. Tak perlu kudeskripsikan foto itu, kau pun tahu foto yang mana yang sekarang kupegang.

Kudekatkan foto itu hingga jaraknya dengan hidungku hanya lima sentimeter. Kutatap mataku dan matamu di sana, mereka memancarkan kebahagiaan, kelegaan. Seolah-olah mengejekku yang kini sedang hancur-hancurnya. Lalu kubisikkan dua kalimat pada foto itu.

"Rindu baru saja datang padaku. Namun atas dasar tahu diri akan kurapikan semua ini sendiri, tanpamu."


—spoken whalien, 9:19 pm.

Sunday, October 7, 2018

Rindu

Jika suatu hari kau merindukanku, tataplah langit malam. Lalu carilah satu sosok paling terang di antara gugusan bintang, atau jika langit seluas itu tertutupi awan gelap carilah satu bintang yang tak segan-segan tetap memancarkan cahayanya. Setelah itu pejamkan kedua matamu. Rasakan hembusan lembut di pipimu dari sang angin seperti sentuhan jemariku yang selalu kausuka. Dengarkan bisikan sang angin perihal aku pun merindukanmu, tak pernah absen barang sekedip mata. Putarkan memori bagaimana caraku menggenggam erat tanganmu dan sesekali kulepas lalu memilih untuk menggandeng erat lenganmu seperti tak kuizinkan engkau untuk pergi. Bayangkan di salah satu pundakmu itu beristirahat kepalaku dan bisa kaurasakan senyumku mengembang. Dan kuharap rasa rindumu terobati meski hanya setitik.

Aku katakan ini jika kau merindukanku suatu saat. Jika kau memang takkan pernah merindukanku lagi, kuhanya ingin kautahu bahwa aku selalu melakukan ritual yang barusan kuuraikan padamu.

Namun jangan akan pernah lakukan itu sepertiku yang selalu melakukan itu tiap malam. Karena bukannya rinduku terobati, justru rinduku makin menjadi dan akhirnya bersama dengan keadaan, mereka membunuhku.

Bahwasanya kau takkan pernah membantuku mengobati rindu ini dengan kembali padaku.

Friday, October 5, 2018

Masa

Jujur, saya masih tak habis pikir bagaimana Anda bisa menjalankan hidup tanpa saya sesantai itu. Saya rasa Anda telah membuang semua memori masa itu, kan? Masa dimana Anda selalu menceritakan bagaimana hari berjalan dann apa saja yang mengusik pikiran Anda. Sampai-sampai Anda harus melampiaskan semuanya pada saya, saking parahnya. Dan begitu pula sebaliknya. Pada masa itu, kita saling bersandar dan mengadu pada satu sama lain.

Hingga datang masanya dimana kata kita tak pantas menjadi kata ganti saya dan Anda. Keadaan berbalik, termasuk dunia saya. Dunia saya tak pernah sehancur lebur ini. Dan itu harus saya hadapi seorang diri, tanpa sandaran untuk mengadu dan tangan untuk berpegangan. Karena di masa ini, Anda memilih untuk menarik diri dari sandaran dan menghempas genggaman. Lalu melangkah pergi tanpa sedikit pun kautoleh aku barang sepersekian detik. Sialnya, di masa sekarang saya butuh sandaran yang kokoh dan genggaman yang erat juga tatapan yang teduh milik Anda. Apakah tak ada satu detikpun yang pernah berjalan yang mana Anda mengharapkan hal yang sama?

Apakah Anda benar-benar tak pernah mengharapkan saya kembali ke kehidupan Anda dan menjadi tempat sandaran juga genggaman tererat?


Jakarta, 6 Oktober 2018.
12:52 am.
방탄소년단 - 잡아줘.

Tuesday, October 2, 2018

the truth untold 2.0

Dari : si ansos
Untuk : kalian berlima

6:28

Bagiku, ini masih terlalu pagi untuk menuliskan hal-hal yang selama ini mengusik hari-hariku. Karena kutahu, semua yang kutuliskan di sini bisa saja membuat perasaanku jatuh tanpa parasut seharian. Namun mau bagaimana lagi, aku harus mengatakan ini.

Jujur, aku benar-benar takut untuk menyampaikan segala macam perasaan yang kurasa selama kurang lebih tiga tahun. Aku sadar bahwa cara pandangku dengan kalian seratus delapan puluh derajat berbeda. Maka dari itu, kuharap kalian menghargai segala kata yang terurai di sini, karena itu adalah hasilku membanting otakku agar kalian tidak merasa sangat tersinggung—aku tak mungkin buat kalian tidak tersinggung sama sekali.

Baiklah, untuk yang paling utama adalah aku lelah dengan cara kalian mengurungku dengan kriteria yang tak ada habisnya. Apa saja kriteria yang kumaksudkan di sini?

Pertama, gaya hidupku. Kalian berdua tahu bahwa aku cenderung introvert yang mana aku akan memilih untuk sendiri ketimbang selalu berada di tempat ramai. Kalian tak bisa membandingkanku dengan salah satu dari kalian. Sudah jelas kita berbeda, apa gunanya kalian membandingkan? Karena kalian memandang manusia yang memiliki sifat seperti ini adalah salah?

Dan untuk pertama dan terkhir kalinya kutegaskan, anti-social dengan asocial itu berbeda. Jangan menyamakan keduanya. Kita hidup di zaman modern, carilah apa definisinya sendiri.

Kedua, kriteria lelaki idaman. Baiklah, di poin ini aku akan mengungkapkan segalanya.

Hubunganku dengannya pernah berjalan, namun sudah berakhir sejak lama. Alasannya, aku hanya melindunginya dari marabahaya yang bisa saja terjadi nantinya. Aku melindunginya dari kalian, yang selalu saja menganggap dirinya adalah lelaki paling buruk yang kalian kenal seumur-umur. Cukup panas telingaku mendengarkan celotehan buruk tentangnya dari kalian. Dan akhirnya aku biarkan dia mengambil langkah mundur, dari segala macam hal di hidupku.

Saya tak pernah membuat keadaan, tapi saya mengikuti keadaan, begitu katanya saat kutanya mengapa aku dan dia bagai dua orang asing sekarang. Dan mohon maaf, aku menyalahkan kalian atas keadaan ini. Kalian membuat keadaan antara kita semua menjadi amat keruh. Kalian yang selalu menjelek-jelekkan dirinya di hadapanku. Kalian yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain di depan wajahku.

Kalian yang selalu menaruh kriteria ganteng tinggi pinter di tiap lelaki, tanpa menaruh tahu bagaimana menyikapiku dan duniaku.

Sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Aku seharusnya menganggap kalian adalah tempatku berpulang dan mengadu. Namun kalian justru menjadi tempat yang sangat kuhindari sejak lama.

Aku pun tak tahu bagaimana mengakhiri tulisan ini, karena pada intinya aku lelah dengan hidupku yang rasanya seperti dikurung oleh jeruji kriteria idaman milik kalian. Itu saja.

7:12

Monday, October 1, 2018

Puastah?

Sudah puastah kalian?
Merebut kebahagiaanku dan menandainya dengan hal-hal yang buruk. Merendahkan seleraku dan menganggapnya bukan tipe kalian, yang pada kenyataannya dia adalah orang yang paling tahu bagaimana memperlakukanku. Menyalahkannya akan hal-hal yang kulakukan, dengan alasan bahwa hal-hal yang kulakukan adalah imbas buruk dari pola hidupnya. Tak pernah memercayai semua kata-kata dari bibirku yang menyatakan hal-hal baik tentangnya.
Puastah kalian akan mengurungku dengan nilai-nilai bodoh yang kalian tanam itu?

Sudah puastah kalian?
Memojokkanku dan menyalahkanku akan hal-hal yang terjadi di antara kita. Tidak berpikiran terbuka akan perspektifku yang sebagian besar dari mereka pun setuju. Mengabaikan segala macam saranku yang sebenarnya bisa membangun hal-hal yang baik untuk ke depannya. Membangun tenda di dalam rumah yang kita bangun bersama.
Puastah kalian akan mengabaikanku yang memiliki tujuan yang sama dengan kalian?

Sudah puastah kau?
Membuang segala kenangan yang pernah kita perjuangkan. Melupakan segala harapan yang kita toreh bersama. Menambah daftar orang-yang-harus-kau-benci dengan namaku di paling bawah sana. Mengabaikan kehadiranku di sekitarmu tiap harinya. Menggantung pertanyaanku yang kupertaruhkan segala egoku dengan jawaban yang sukses buat otakku dipenuhi dengan spekulasi-spekulasi gila.
Puastah kau akan melangkah pergi dari hidupku bak tak ada hal yang pernah kautinggal di sini?

Sudah puastah kalian, wahai penghuni dunia yang mengutukku untuk menjadi seekor whalien?

Alone

Kini, saya sendirian di tengah hiruh pikuk dunia. Disaat orang lain tertawa dengan penuh kebahagiaan, saya sedang bangkit dari keterpurukan.

Kini, saya duduk di kursi reyot yang dalam hitungan menit akan rubuh. Disaat orang lain dengan penuh arogannya memukul meja saya dan menunjuk-nunjuk saya dengan tatapan nanarnya, saya sedang merunduk dan meratapi nasib bahwasanya saya memanglah berbeda dari mereka, seratus delapan puluh derajat.

Kini, saya bersandar di dinding yang sudah amat rapuh bagai tulang lansia. Disaat orang lain memilih untuk bersandar dan mengadu pada sepasang bahu yang kokoh, saya baru saja ditinggalkan oleh sang pemilik bahu karena alasan dia tak pernah membuat keadaan namun dia mengikuti keadaan.

Kini, saya dengan segala macam warna hitam, abu-abu, dan putih, disertai olokan-olokan dari para pemilik warna. Disaat orang lain bermain di derasnya hujan demi melihat sang pelangi, saya memilih untuk terdiam di hiruh pikuk dunia seraya duduk di kursi reyot dan bersandar di dinding rapuh.

Mengapa? Karena saya tak butuh seluruh dunia beserta isinya. Beri saya satu orang yang akan saya jadikan dunia saya dan segala macam ucapan, tindakan, dan cara pikirnya mengisi dunia saya.

—saya butuh Anda.

Friday, September 28, 2018

the truth untold

Dari : untitled
Untuk : 24/7

21:03.

Di sinilah aku, menutup kedua indera pendengaran menggunakan headphone hitam yang mengalirkan musik dengan lirik berbahasa Jepang bercampur bahasa Inggris, sambil menuliskan hal tentangmu. Lagi dan lagi. Seolah-olah tak ada bosannya untuk mendedikasikan rangkaian kata ini untukmu, setelah ratusan bahkan ribuan kertas beserta memar di jari manis sebelah kanan saking asyiknya menulis untukmu. Otakku terus bertanya-tanya, haruskah aku melakukan ini lagi?

Karena, adik, ada beberapa hal yang harus aku jujurkan padamu, namun tingkahmu seperti tak ada hal-hal yang patut dibahas lagi. Jadi, izinkan kata-kata di sini mengatakannya padamu, serta melambaikan bendera putih dariku.

Ya, aku mundur dari segala usahaku. Mulai dari mengajakmu untuk berbicara serius nan gamblang, hingga mengembalikanmu pada kehidupan sehari-hariku. Mengapa? Pertama, kaubilang bahwa kau tak pernah buat suatu keadaan, tapi kau sebenarnya mengikuti keadaan yang ada. Sementara kau mengikuti keadaan, aku tak bisa memperbaiki keadaan sendirian, lagi. Aku lelah, tak tahu lagi harus berbuat apa pada hubungan yang sejatinya hanya gadis yang setahun enam bulan lebih tua darimu yang berjuang. Sementara kau hanya mengeluh dan mengeluh tanpa mau berbuat sesuatu yang bisa mengubah semua ini, baik saat sebelum malam itu maupun sekarang.

Untuk mempermudahmu untuk mengerti, anggap saja kita saat itu sedang berada di satu perahu yang tak terlalu kecil di suatu sungai. Lalu, kita memilih menggunakan dua perahu yang lebih kecil untuk sendiri-sendiri. Aku mengajakmu untuk saling mendayung secara berdampingan, namun katamu itu tak mungkin. Karena kau memilih untuk mengikuti arus dan luas sungai yang kauanggap hanya muat satu perahu saja. Mau bagaimanapun juga, aku tak bisa tiba-tiba berhenti dan menggali sisi-sisi sungai demi bisa berdampingan denganmu. Karena menggalinya sendirian itu butuh waktu yang tidak singkat. Dan kau mau aku menggalinya sendirian? Maaf, aku bukan budakmu, dik.

Kedua, aku sadar bahwa takkan selamanya kau ada di kehidupanku. Karena pada faktanya, kau dan aku saling bersandar namun menghadap mata angin yang berbeda. Karena secara kebenaran, kau dan aku memang sepasang sepatu namun dari berbeda merk. Kita pernah sama, namun dasarnya kita sangat berbeda. Ya, seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Bodoh.

Ketiga, meski kau secara tersirat selalu berkata bahwa aku adalah bahagiamu, nyatanya memang bukan. Kausembunyikan semua rasa sakitmu dariku dan menutupinya dengan topeng. Tak salah, aku juga begitu, namun aku buka topengku hanya padamu. Sesakit apapun aku, baik itu bukan maupun darimu. Dan aku lebih memilih menaruh bahagiamu di atas milikku.

Untuk menegaskan, aku tidak menaruh dendam padamu. Atau kau mungkin saja berpikir bahwa aku menyesal pernah bersamamu. Tidak, bukan seperti itu. Kau adalah pelajaran terbaik yang pernah kutekuni selain sastra. Maka dari itu aku harus belajar untuk mulai menaruh diriku terlebih dahulu di atas yang lain. Aku harus belajar untuk mengatur hidupku yang bagai kapal pecah ini. Aku harus belajar, karena aku tak mau lelaki setelahmu (atau mungkin dirimu, tak ada yang tahu) merasakan hal yang sama denganmu waktu itu.

Baiklah, dengan bangga dan atau dengan pedihnya, akan kukatakan salah satu lirik dari lagu yang kudengarkan sekarang. Aku yakin kautahu, karena lima kata ini pernah terucap dari bibirku sebulan sebelum 'kita' diresmikan, namun kau berhasil membuatku menarik kata-kata itu.

I'm ready to let go.


21:37.